TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan pemerintah akan membuka dialog dengan kelompok masyarakat yang menolak omnibus law. "Omnibus law itu sendiri memang tuntutan publik untuk membenahi masalah hukum yang begitu banyak," kata Ma'ruf di Hotel Lombok Raya, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu, 11 Maret 2020.
Ma'ruf Amin mengatakan, peraturan di Indonesia sudah obesitas, tumpang tindih, dan berbelit-belit. Hal itu kerap menjadi keluhan masyarakat juga investor. Sehingga, pemerintah berencana menyederhanakan regulasi melalui omnibus law.
Terkait adanya kelompok yang menolak omnibus law, Ma'ruf meminta agar ada diskusi mengenai poin-poin apa saja yang belum disepakati. Diskusi bisa dilakukan melalui rapat dengar pendapat di DPR. "Jadi kalau yang menolak, saya kira sebaiknya bicarakan hal-hal yang sifatnya aspek-aspek mana yang masih belum ada kesepakatan."
Menurut Ma'ruf, isi omnibus law itu sendiri perlu disinkronkan dengan keinginan masyarakat agar terbangun kesepakatan. Ia juga menepis kabar bahwa rancangan omnibus law ini akan memangkas kewenangan di daerah. "Enggak benar bahwa omnibus law akan menghilangkan otonomi daerah," katanya.
Ribuan elemen masyarakat yang terdiri dari mahasiswa, buruh, aktivis lingkungan, jurnalis, dosen, dan musisi kembali menggelar unjuk rasa Gejayan Memanggil pada Senin, 9 Maret 2020. Kali ini, mereka mengusung tema Gagalkan Omnibus Law.
Ada juga Aliansi Rakyat Bergerak yang melihat beberapa pasal-pasal dalam omnibus law berbahaya untuk buruh, mengancam kelestarian lingkungan, mengancam kesejahteraan buruh perempuan, dan mengintervensi pers.
Seperti dikutip dari hasil kajian mereka, Aliansi melihat kebutuhan pembentukan omnibus law bukan datang dari usulan masyarakat. Tapi berangkat dari keinginan pemerintah yang menghendaki adanya satu regulasi khusus untuk lebih melindungi investasi modal mereka di Indonesia dan menyingkirkan segala hal yang menghambat.
Menurut kajian tersebut, ada beberapa pasal yang bermasalah. Salah satunya Pasal 1 Ayat 7 Undang-Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012 yang pada RUU Cipta Kerja diubah menjadi ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan. Padahal sebelumnya ketentuan impor hanya diperbolehkan apabila hasil produksi dan cadangan nasional tidak bisa memenuhi kebutuhan.