TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir bicara panjang lebar soal putusan Mahkamah Agung (MA) yang menganulir kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Putusan itu tak lepas dari judicial review atau uji materi yang diajukan KPCDI sejak Desember 2019 dan kemudian dikabulkan oleh majelis hakim MA.
“Kami mengapresiasi MA karena menempatkan hati nurani pada posisi yang tepat,” kata Tony kepada Tempo di Jakarta, Selasa, 10 Maret 2020. Tony juga merupakan seorang pasien gagal ginjal yang harus cuci darah dan melakukan cangkok ginjal.
Kemarin, MA diketahui telah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan pemerintah sejak 1 Januari 2020 melalui Pasal 34 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid inilah yang digugat oleh KPCDI.
Adapun daftar iuran yang dibatalkan yaitu Rp 42 ribu untuk peserta Kelas III, Rp 110 ribu untuk Kelas II, dan Rp 160 ribu Kelas I. Sehingga, iuran yang berlaku kembali merujuk pada aturan sebelumnya yaitu Perpres 82 Tahun 2018, dengan rincian: Rp 25.500 Kelas III, Rp 51 ribu Kelas II, dan Rp 80 ribu Kelas I.
Tony bercerita kenaikan iuran BPJS hingga 100 persen tersebut telah memberatkan para pasien, terutama pasien cuci darah. Dalam satu bulan saja, ia mencontohkan, seorang pasien cuci darah bisa mengeluarkan biaya hingga Rp 10 juta. Sehingga jika iuran naik sampai Rp 1 juta pun, kata dia, belum cukup untuk menutupi kekurangan biaya tersebut.
Biaya besar ini muncul karena tidak semua layanan cuci darah ditanggung BPJS Kesehatan, seperti obat. Sehingga, pasien cenderung membeli obat sendiri. “Mas, ini obat BPJS-nya dibatasi ya,” kata Tony menirukan ucapan petugas fasilitas kesehatan yang pernah memberikannya informasi.
Tony sempat bertanya aturan manakah yang menjadi dasar pembatasan obat bagi pasien cuci darah. Akan tetapi, kata Tony, petugas hanya meminta dirinya menanyakan langsung ke BPJS perihal tersebut. Pun demikian setelah iuran naik per 1 Januari 2020, Tony menyebut tak ada pelayanan yang meningkat setelahnya.
Masalah lain juga muncul sejak Agustus 2019. Kala itu, BPJS Kesehatan mencoret 5,2 juta peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Kebijakan itu diambil karena ada beberapa data peserta yang tidak valid akibat kondisi tertentu, seperti sudah meninggal hingga tidak tercantum di data Kementerian Sosial.
Saat itu, Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan para peserta tak perlu khawatir lantaran entitasnya memiliki beberapa kebijakan. Mulai dari mendaftar sebagai peserta PBI APBD hingga peserta mandiri.
Persoalannya, Tony menyebut pencoretan 5,2 juta itu tidak disertai dengan survei yang akurat di lapangan. Walhasil, ada beberapa pasien cuci darah yang kemudian keluar dari PBI dan terpaksa harus menjadi peserta mandiri. “Saat itu dibentuk juga jaringan korban yang terdampak, dibantu Lokataru Foundation,” kata dia.
Sejumlah pasien cuci daerah di berbagai daerah telah mengadu ke Ombudsman agar mereka bisa dimasukkan kembali menjadi peserta PBI. Sebagian pasien cuci darah akhirnya berhasil masuk kembali menjadi peserta PBI seperti di Yogyakarta dan sebagian lain belum. Sehingga sampai kini pun, KPCDI terus berkomunikasi dengan BPJS mengenai hal ini.
Meski demikian, Tony tetap mengapresiasi upaya pemerintah melindungi masyarakat dengan BPJS Kesehatan. Hanya saja, dia menyebut kenaikan iuran 100 persen ini memang sangat memberatkan para pasien yang justru tengah menderita sakit.
Bagi Tony, menjadi pasien cuci darah berarti bersiap untuk menjadi miskin. Biaya pengobatan yang tinggi menjadi alasannya. Jika saja yang menjadi pasien adalah seorang kepala keluarga, kata dia, maka Ia tak lagi produktif, sakit-sakitan, dan berpotensi dipecat dari pekerjaannya. “Sudahlah tidak masuk kategori PBI, tidak memiliki pekerjaan, maka dimulailah proses kemiskinan itu.”
Sampai kemarin, BPJS Kesehatan belum bisa berkomentar banyak soal pembatalan kenaikan iuran BPJS ini. “Sampai saat ini BPJS Kesehatan belum menerima salinan hasil putusan Mahkamah Agung tersebut, sehingga belum dapat memberikan komentar lebih lanjut, “ kata Iqbal Anas Ma'ruf dalam pesan singkat di Jakarta, Senin, 9 Maret 2020.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut pihaknya masih akan mendalami implikasi dari putusan ini. “Kami akan pelajari dulu,” kata Suahasil saat ditemui di Kementerian Keuangan, di hari yang sama.
FAJAR PEBRIANTO