TEMPO.CO, Jakarta - Kinerja keuangan PT Pertamina (Persero) menunjukkan tren perbaikan dalam lima tahun terakhir. Tren ini diperkirakan mampu berlanjut di tahun ini.
Analis PT Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan menyatakan perbaikan nampak dari laba bersih yang dikantongi perseroan selama lima tahun terakhir. Laba bersih tertinggi terjadi pada 2016 yang mencapai US$ 3,15 miliar. Angkanya melonjak dari US$ 1,41 miliar di tahun sebelumnya.
Nilai laba bersih sempat turun pada 2017 menjadi sebesar US$ 2,41 miliar. "Pada 2017 ada kebijakan penyaluran BBM satu harga yang sedikit menekan karena biaya meningkat tapi harga jual tetap," katanya kepada Tempo, Kamis 14 November 2019. Namun penurunan berhasil ditahan di tahun berikutnya.
Pemerintah menugaskan Pertamina untuk menyamakan harga jual BBM bersubsidi terutama di wilayah terdepan, terluar, dan terpencil pada 2016 lalu. Harga jual premium dipatok 6.450 per liter dan solar Rp 5.150 per liter. Selama ini, kurangnya fasilitas pengisian BBM dan tingginya biaya distribusi ke wilayah tersebut menimbulkan disparitas harga. Pertamina sendiri mendapat tugas untuk membangun 160 dari target 170 lembaga penyalur BBM satu harga.
Kebijakan ini menuai polemik lantaran berpotensi menggerus keuntungan Pertamina. Direktur Utama Pertamina saat itu, Dwi Soetjipto, menyatakan perusahaan bisa merugi Rp 800 miliar. Presiden Joko Widodo ketika itu mengusulkan Pertamina memberi subsidi silang dengan dana hasil usaha Pertamina.
Kinerja Pertamina juga membaik jika dilihat dari sisi pendapatan perusahaan. Perusahaan mampu meningkatkan angkanya setelah anjlok di 2016 dengan hanya US$ 39,81 miliar. Sejak 2017 nilainya merangkak naik menjadi US$ 46 miliar dan tahun lalu mencapai US$ 57,93 miliar.
Kinerja positif keuangan Pertamina juga nampak dari peningkatan kemampuan perusahaan untuk membayar utang. "Kemampuan membayar beban keuangan semakin membaik meski dalam lima tahun terakhir utang perusahaan meningkat," ujarnya. Menurut Alfred, laba operasional yang dihasilkan Pertamina kini mencapai 11 kali lipat total beban keuangan.
Kondisi ini, menurut dia, akan berpengaruh kepada penjualan obligasi perusahaan pelat merah itu, terutama kepada investor asing. Dengan rasio pembiayaan utang yang aman, investor tak akan ragu menamamkan modal. Selain itu, perbankan pun bisa memberikan bunga kupon yang cukup rendah.
Pertamina saat ini tengah membutuhkan banyak biaya. Tahun ini perseroan mencanangkan investasi senilai US$ 4,2 miliar. Dari total dana itu, sebanyak US$ 2,5 miliar di antaranya dialokasikan untuk investasi di sektor hulu. Sementara sisanya digunakan untuk bisnis di sektor hilir serta pengolahan. Untuk menambah belanja modal yang mencapai US$ 4,5 miliar, Pertamina menerbitkan obligasi global senilai US$ 1,5 miliar.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menyatakan perseroan terus melakukan efisiensi untuk mendorong perbaikan kinerja keuangan. "Kami lakukan inovasi dari sisi teknis dan juga perbaikan business process," ujarnya.
Hingga pertengahan tahun ini, laba bersih perusahaan mencapai US$ 660 juta. Angkanya melonjak dari US$ 311 juta di periode sebelumnya. Fajriyah menuturkan kenaikan ini dipicu penurunan beban pokok penjualan sebesar 6 persen dibandingkan semester I 2018. Harga rata-rata Indonesia Crude Price (ICP) yang hanya US$ 63 per barel menjadi penyebabnya. Pasalnya di periode yang sama tahun lalu ICP mencapai US$ 66 per barel.
Fajriyah mengatakan, perusahaan juga melakukan efisiensi dengan mengurangi impor minyak mentah hingga 40 persen karena serapan dari dalam negeri yang meningkat. "Juga penurunan impor solar dan avtur karena kita sudah mandiri hingga membuat beban turun 60 persen," katanya.