INFO BISNIS — Setelah lebih dari 20 tahun berkarir di industri perbankan, Sonny Christian Joseph memutuskan pindah haluan. Mantan bankir ini mendirikan PT Berdayakan Usaha Indonesia, perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan usaha kecil menengah (UKM) dengan menggunakan platform teknologi atau fintech. Namanya tercatat sebagai chief executive officer (CEO) dan Co-founder di perusahaan yang lebih dikenal dengan nama Batumbu itu.
Keputusan pindah jalur tentu bukan tanpa alasan. Sonny melihat pasar pembiayaan UKM di negeri ini masih terbuka luas. Peluang bisnisnya besar, meski pemainnya sudah banyak. Yang perlu ia lakukan adalah mengubah metodenya, memodifikasi model bisnisnya, agar kompetitif dan relevan.
Ia berkeyakinan tidak semua UKM dilirik bank, meski sebenarnya bankable. Ada banyak jenis usaha yang kebutuhan bisnisnya belum dapat terlayani seutuhnya dengan sistem pembiayaan perbankan saat ini.
Oleh sebab itu, menurutnya, untuk menjangkau UKM yang unik itu pendekatannya mesti diubah. Fleksibilitas produk dan layanan menjadi kunci, selain kecepatan dan kemudahan.
“Kami menyimpulkan, teknologi digital memungkinkan hal tersebut terwujud secara lebih cepat dan lebih masif. Atas dasar itu, kami menghadirkan fintech lending untuk UKM,” katanya, beberapa waktu lalu.
Sonny memperkenalkan platform Batumbu ke publik pada April 2019 silam. Batumbu bergerak di bisnis peer to peer lending (P2PL), yang mempertemukan para pelaku UKM yang membutuhkan pembiayaan dengan para pemilik dana. Sejak awal ia sudah mencanangkan platform digitalnya ini hanya untuk pembiayaan produktif, bukan konsumtif.
“Dengan memfasilitasi pembiayaan produktif, kami ingin menggerakkan sektor riil dan berkontribusi lebih terhadap pertumbuhan ekonomi serta memberdayakan para pelaku UKM,” ujarnya.
Sonny percaya visinya akan terwujud lantaran memiliki pengalaman mumpuni dan rekam jejak yang panjang di industri ini. Sebelum mendirikan Batumbu, ia mengepalai unit bisnis di Bank BTPN yakni Mitra Bisnis yang memberikan pembiayaan untuk UKM dan rantai pasoknya (supply chain).
Mendirikannya dari nol, membangun tim dan menjalankannya, hingga berkembang menjadi unit usaha yang besar saat ini. Jika ditarik lebih ke belakang, ia mengecap asam garam sebagai bankir di berbagai posisi di Bank Danamon.
“Saya lebih dari 16 kali berpindah posisi, menangani bisnis yang berbeda-beda. Mulai dari melayani UMKM, kredit Komersial hingga retail. Ini modal berharga untuk masuk ke industri fintech P2P, mengombinasikan manajemen risiko sebagai bankir dengan kecepatan dan inovasi ala anak-anak muda pegiat start up,” ucapnya.
Sonny lahir di Makassar pada 17 Juni 1973. Anak ke pertama dari lima bersaudara ini mengenyam pendidikan di Universitas Hasanuddin, Makassar. Selama menjalani kuliah di fakultas ekonomi, ia menyambi dengan bekerja di beberapa perusahaan. Cita citanya tidak neko-neko, ia hanya ingin berkelana mengelilingi dunia sambil belajar dan menemukan hal-hal baru, yang pada akhirnya bisa memberikan manfaat bagi banyak orang.
Lulus dari Universitas Hasanuddin pada 1996, Sonny langsung berlabuh di Bank Danamon. Di bank ini ia mengikuti pendidikan terkait bisnis komersial dan korporasi. Meski begitu, penugasan awalnya justru di divisi pembiayaan UKM.
Bekerja di sektor perbankan, Sonny mengenyam banyak pengalaman. Terutama dalam berinteraksi dan melayani para debitur. Ayah dari tiga anak ini percaya bahwa menciptakan loyalitas dari pelaku usaha itu tidak cukup dengan memberikan pelayanan yang cepat dan mudah. Bankir juga mesti bisa menjadi partner berdiskusi yang baik dan mampu memberikan solusi atas permasalahan yang nasabah hadapi.
“Dari kemauan mendengar dan berdiskusi ini, bankir bisa menciptakan produk ataupun layanan yang relevan dengan kebutuhan nasabah. Di sinilah letak kepuasan batin seorang bankir: menjadi berguna dan mendatangkan manfaat bagi para nasabahnya,” katanya.
Ada beberapa pengalaman membekas yang selalu ia ingat. Yang selalu memuaskan batinnya itu. Salah satunya sewaktu ia memberikan kredit untuk pertama kalinya saat bekerja di bank. Debiturnya adalah seorang ibu yang ingin membuka usaha toko buku. Belakangan ia tahu, ibu ini baru kehilangan suaminya. Ia berwiraswasta untuk menghidupi keluarga sepeninggal orang yang dicintainya.
“Saya gemetar karena ini kredit pertama yang akan saya proses. Saya khawatir kalau kreditnya macet,” katanya, mengenang masa lalu.
Untuk mengusir rasa khawatir, Sonny menjadi lebih teliti dan lebih cermat dalam mempelajari serta menilai calon nasabah. Dari interaksi ini, ia juga memberi masukan dan membantu proses hingga kredit disetujui.
Dengan bermodal pinjaman bank senilai Rp25 juta, usaha ibu ini bertumbuh pesat. Sonny menyaksikan sendiri bagaimana kredit itu berdampak besar terhadap hidup orang lain.
“Setelah belasan tahun tidak bertemu, saya mengunjunginya sekitar dua tahun lalu. Ibu ini sudah punya dua petak ruko. Usahanya bukan cuma menjual buku, tapi sudah bermacam-macam seperti alat-alat tulis dan peralatan elektronik, hal itu memberikan kepuasan dalam batin, karena kerja itu bukan sekedar mengejar target, tetapi ketika kita bias memberikan manfaat nyata bagi orang lain,” katanya.
Pengalaman lainnya sewaktu memimpin unit BTPN Mitra Bisnis. Di bank ini, pemberdayaan nasabah justru menjadi jiwa yang tak terpisahkan dari bisnis. Pendampingan nasabah dilakukan secara terprogram dan lebih terukur. Mulai dari manajemen keuangan, solusi bisnis hingga membantu nasabah melakukan ekspansi usaha.
“Kepuasan sebagai bankir justru terletak disitu, manakala kita melihat nasabah yang kita bantu dapat bertumbuh dan berkembang. Spirit ini kami lanjutkan di Batumbu,” ujarnya. (*)