TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah Redjalam mengatakan adanya rekonsiliasi politik di antara elit penguasa saat ini yang diprediksi terwujud di koalisi Jokowi bisa berpeluang menjadi positif. Peluang positif ini bisa tercipta dalam hal satunya visi terkait kebijakan ekonomi.
"Jadi dia berpeluang positif karena akan membuat pemerintah itu bisa fokus dalam rangka menerapkan kebijakan ekonomi di tengah pelambatan ekonomi global. Sehingga nanti tidak terjadi kegaduhan pemerintah," kata Piter dalam acara Economy Outlook 2020 oleh Bank BCA, di Menara BCA, Jakarta Pusat, Jumat 18 Oktober 2019.
Adapun kegaduhan yang dimaksud Piter adalah pengambilan kebijakan pemerintah yang seringkali dipermasalahkan oleh parlemen. Karena itu, dia berharap kegaduhan terkait pengambilan kebijakan ekonomi bisa berkurang pada 2020 dengan adanya koalisi atau rekonsilasi politik ini.
Pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin diprediksi akan menghadirkan koalisi gemuk yang tidak sebanding dengan kekuatan oposisi. Gerindra dan Demokrat memberi sinyal kuat akan meninggalkan PKS dan PAN, lalu merapat ke pemerintahan.
"Oposisi hanya akan menjadi macan ompong. Tak akan punya gigi dan nyali untuk mengkritik pemerintah," ujar Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin, saat dihubungi Tempo pada Senin, 14 Oktober 2019.
Ujang mengkhawatirkan, kondisi ini akan menyebabkan kekuasan tanpa kontrol. Mengutip Lord Acton, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely". Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup.
"Jadi, sebaiknya Demokrat dan Gerindra bersama-sama rakyat di luar pemerintah agar fungsi checks and balance itu berjalan," ujar Ujang.
Usai Pilpres 2019, Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat pecah kongsi. PAN baru-baru ini menyatakan sikap mengikuti jejak PKS yang sudah sejak awal teguh di jalan oposisi.
"PAN sudah mengambil sikap yang jelas, yaitu berada di luar kabinet. Demokrasi membutuhkan checks and balances," ujar Anggota Dewan Kehormatan PAN, Drajad Wibowo saat dihubungi Tempo pada Ahad, 13 Oktober 2019.
Presiden Joko Widodo mengundang Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat 11 Oktober 2019. Sehari sebelumnya, Kamis (10/10/2019), Jokowi bertemu Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara. TEMPO/Subekti.
Sementara itu, Prabowo terus memainkan langkah kuda bertemu Jokowi dan sejumlah ketua umum dari Koalisi Indonesia Kerja. Wakil Ketua Umum Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, sejauh ini peluang Gerindra berkoalisi dengan pemerintahan yakni 50:50. Konsep ketahanan pangan, energi, ekonomi serta pertahanan dan keamanan yang ditawarkan oleh Gerindra, juga diklaim telah diterima oleh Jokowi.
Santer beredar informasi, Gerindra menginginkan pos-pos menteri sesuai bidang tersebut. Sejauh ini, calon yang menguat adalah Edhy Prabowo dan Fadli Zon. "Pokoknya kalau kemudian kami masuk (koalisi Jokowi), ya itu posnya kemungkinan ada untuk Pak Fadli," ujar Dasco, Jumat lalu.
Adapun Demokrat, sudah menyatakan mendukung pemerintah. Namun, masih menunggu diajak berkoalisi oleh kubu Jokowi.
"Kami mendukung pemerintahan mendatang tanpa syarat. Soal apakah akan dimasukkan dalam koalisi, kan itu tergantung Pak Jokowi dan partai-partai lain," ujar Wakil Sekjen Demokrat Andi Arief saat dihubungi Tempo pada Ahad, 13 Oktober 2019 terkait koalisi Jokowi itu.
DEWI NURITA