TEMPO.CO, Jakarta - Menanggapi permintaan pelaku usaha financial technology (fintech) soal UU Perlindungan Data Pribadi dan UU Financial Technology (fintech), Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keunagan (OJK) Hendrikus Passagi mengatakan sebagai pengawas dan regulator dari fintech terdaftar, OJK tidak berhak untuk membuat UU. Dia menyarankan kepada penyelenggara untuk segera membangun komunikasi kepada parlemen selaku legislator.
"Untuk menyusun undang-undang itu sendiri, maka yang berwenang membuat dan menyusun undang-undang itu adalah pemerintah dan DPR, itu inisiatif dari mereka. Sehingga kami berharap kawan-kawan dari AFPI mulai membangun komunikasi dengan parlemen dan pemerintah dalam hal ini," kata dia di kawasan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2019.
Dia mengungkapkan, terkait apa yang harus dimuat dalam undang-undang nantinya, para pelaku usaha lah yang mengerti dan memahami terkait risiko bisnisnya. "Jadi kami yakin itulah yang mereka lihat hal-hal yang ada di lapangan dan kami sepenuhnya mendukung pandangan mereka (fintech)," ujar dia.
Baca Juga:
Namun dia menuturkan, pihaknya akan terus mendukung apa yang menjadi keputusan untuk keberlangsungan dari bisnis uang digital ini. Jadi, OJK akan memberikan ruang seluasnya bagi para pelaku usaha, karena mereka yang paham terkait memitigasi bisnis ini.
Sebelumnya, Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Tumbur Pardede mengusulkan Undang-Undang atau UU Perlindungan Data Pribadi dan Undang-Undang Financial Technology (fintech) segara dibuat. Menurutnya, kebutuhan akan regulasi tersebut sudah kian mendesak karena pertumbuhan usaha dalam sektor ini begitu besar.
"Salah satu dibutuhkan alasan adanya undang-undang, karena fintech bagian dari kemajuan digital 4.0, karena ini tidak akan berhenti di sini. Jadi peranan fintech ke depan semakin lebih besar jadi dibutuhkan perangkat yang lebih tinggi yaitu UU," ujarnya di Kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa, 8 Oktober 2019.
Dia mengatakan, bahwa sering disalahkan terkait pencurian data, walaupun aktivitas tersebut dilakukan fintech ilegal. Padahal Tumbur menambah, anggota telah dibatasi dalam mengakses data pribadi para nasabah atau peminjam dari peer to peer (P2P) lending.
Tumbur melanjutkan AFPI memastikan fintech yang masuk menjadi anggotanya dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hanya boleh mengakses kamera dan mikrofon pengguna. "Jadi dan kami dilarang untuk menyebarluaskan," katanya.
Dia mengatakan, bahwa kedua UU tersebut guna menjaga ekosistem bisnis digital ini menjadi terjaga dan lebih sehat nantinya.
RUU Perlindungan Data Pribadi sudah masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019. Namun hingga berakhirnya periode anggota DPR 2014-2019, tak kunjung dibahas dan disahkan menjadi Undang-Undang.
EKO WAHYUDI