TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan percepatan larangan ekspor nikel berpotensi menyebabkan persoalan baru berupa defisit neraca perdagangan.
"Karena ekspor bakal drop bahkan nol," ujar dia di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa, 2 Oktober 2019. Berdasarkan data, sejak Januari sampai Juli 2019 ekspor nikel Indonesia bernilai US$ 362 juta. Sehingga, Tauhid mempertanyakan hilangnya potensi pendapatan itu sebanding dengan nilai tambah yang diperoleh Tanah Air dengan adanya kebijakan tersebut.
Belum lagi, dengan larangan ekspor itu, Tauhid memprediksi harga nikel dunia akan terdongkrak naik. Mengingat, Indonesia adalah salah satu penyuplai utama nikel dunia. Kenaikan harga tersebut dikhawatirkan bisa memicu keinginan pengusaha untuk melakukan ekspor ilegal.
"Seperti dulu saat pelarangan ekspor kayu bulat kan ekspor ilegal meningkat."
Larangan ekspor nikel , ujar Tauhid, sudah membuat dunia bereaksi, salah satunya Uni Eropa yang akan melakukan gugatan kepada Organisasi Perdagangan Dunia alias WTO. "Karena ini mempengaruhi harga nikel hingga pasar saham yang terkait dengan kita," kata dia.
Di samping itu, Tauhid mengingatkan bahwa untuk memperoleh manfaat dari larangan nikel itu, Indonesia juga memiliki sejumlah tantangan. Misalnya, selama ini bijih nikel di dalam negeri sebagian besar diolah dengan teknologi peleburan yang menghasilkan feronikel dan NPI, bahan baku stainless steel.