Namun dominasi politikus dalam jajaran anggota BPK dipersoalkan sejumlah lembaga. Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center, Roy Salam, mengatakan pola ini terus berulang sejak 2004. “Paling banyak terpilih dari wakil partai yang tidak lolos dalam pemilu,” kata dia. Roy pun menyebutkan publik sulit untuk mempercayai integritas anggota BPK jika mereka dipilih secara tertutup oleh politikus di DPR.
Demi membenahi lembaga ini, Roy mengusulkan proses seleksi independen dalam revisi Undang-Undang BPK. Dia meminta pemerintah dan DPR membentuk tim khusus untuk menyeleksi kandidat anggota BPK. “Demi meminimalkan konflik kepentingan.”
Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Misbah Hasan, mengatakan revisi Undang-Undang BPK sudah enam tahun lebih tak dibahas. Padahal, dalam rancangan revisi aturan tersebut akan dibuat skema seleksi yang terbuka dan melibatkan berbagai pihak, seperti akademikus. “Anggota BPK harus professional.”
Achsanul dan Pius memberi tanggapan senada soal pandangan ini. Menurut Achsanul, kentalnya unsur politik dalam pemilihan anggota BPK tak menyebabkan hilangnya independensi para kandidat. “Ketika bertugas, independensi itu harus saya jaga baik-baik,” kata dia. Adapun Pius mengatakan tugas BPK sebagai pengawas cenderung mirip dengan politikus di DPR, yang juga memegang fungsi pengawasan. “BPK merupakan kepanjangan tangan DPR dalam melakukan fungsi pengawasan. Tidak ada masalah kalau mantan anggota DPR menjadi pimpinan BPK,” ujar dia.
Anggota Komisi XI DPR, Johnny G. Plate, mengatakan politikus memang memiliki modal bagus untuk maju sebagai anggota BPK. Tapi dia memastikan DPR tak hanya melihat latar belakang politik para kandidat. “Pengetahuan mereka akan pengelolaan keuangan negara sangar penting,” kata dia.
CAESAR AKBAR