TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi baru-baru ini mengungkapkan kekesalan kepada para menterinya. Ia mengeluhkan rumitnya mengurus perizinan di Indonesia sehingga membuat investor memilih negara tetangga.
Jokowi meminta para menteri mulai menyederhanakan peraturan yang memperlambat perizinan. Pasalnya, Jokowi menerima catatan dari Bank Dunia bahwa 33 perusahaan yang keluar dari Cina sebagian besar memilih untuk berinvestasi di Vietnam, Kamboja, dan Malaysia. "Enggak ada yang ke Indonesia," kata dia dalam rapat terbatas yang digelar siang ini, Rabu, 4 September 2019 di Kantor Presiden, Jakarta,
Jokowi mengatakan ada sejumlah investor yang sudah terbuka dan ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Namun, keinginan itu sampai sekarang belum juga terealisasi. "Kemarin seperti Petrochemical, Aramco enggak mau masuk-masuk gara-gara apa? Ini kan dari Saudi, kita cek satu-satu list-nya," kata dia.
Lalu mengapa Indonesia kalah dari negara-negara tetangga ini? Jawabannya sudah diungkapkan oleh sejumlah ekonom dalam negeri. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Taufik Ahmad situasi ini tak lepas dari adanya perang dagang antara Amerika dan Cina, Sehingga, perusahaan Cina harus merelokasi pabrik agar barang bisa tetap masuk ke Amerika.
Dalam situasi ini, negara lain di Asia Tenggara banyak yang menerima limpahan investasi yang dialihkan dari Amerika Serikat, tapi tidak dengan Indonesia. Musababnya, Indonesia tidak didukung oleh kemudahaan berusaha yang cukup.
“Ini ada masalah dalam kemudahan bisnis kita, korupsi dan birokrasi yang tidak efisien,” kata Taufik dalam Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun 2019 yang diadakan oleh Indef di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa, 16 Juli 2019.
Dalam catatan Indef, ada beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia kalah dibandingkan negara lain. Salah satunya yaitu terkait Ease of Doing Business (EoDB) atau kemudahan berusaha. Sepanjang 2018, Indonesia memang berhasil meningkatkan poin kemudahan berusaha dari 67,69 poin menjadi hanya 66,52 poin.
Namun berdasarkan data EoDB yang dirilis World Bank Group, peringkat Indonesia justru turun menjadi peringkat 73, dibandingkan 2017 yang menempati posisi 72.
Artinya, negara lain mengumpulkan lebih banyak skor alias memperbaiki kualitas kemudahan berusahanya lebih baik dari Indonesia. “Indonesia harus lebih banyak belajar dari praktik yang lebih sukses di negara lain, kata Ekonom World Bank Group, Arvind Jain dalam video conference di Kantor Pusat World Bank di Jakarta, Kamis, 1 November 2018 lalu. Sebut saja, Malaysia di peringkat 15, Thailand 27, dan Vietnam peringkat 69.
Jika dirinci, kata Taufik, kemudahan berusaha di Indonesia masih kalah karena jumlah prosedur yang harus dilalui mencapai 10 buah dengan waktu rata-rata 19,6 hari. Sedangkan Vietnam sudah mampu mencapai perizinan dengan 8 prosedur saja selama 17 hari. Tercepat yaitu Singapura dengan 2 perizinan selama 1,5 hari saja.
Ekonom senior Chatib Basri juga menyampaikan bahwa dalam situasi perang dagang ini, negara seperti Vietnam mampu menarik FDI lebih besar dari Indonesia. Salah satu penyebabnya, kata Chatib, adalah insentif dari sisi ketenagakerjaan. “Untuk diketahui, pesangon tenaga kerja di Vietnam itu setengahnya Indonesia,” kata Chatib pada 23 Juli 2019.