TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi jika resesi global yang diperkirakan lembaga riset ekonomi global, Moody’s Analytics, benar-benar terjadi.
“Mungkin secara pertumbuhan akan terkoreksi ke bawah karena ekspor mungkin terhambat dengan pelemahan global,” kata Bambang di Gedung Bappenas, Jakarta Pusat, Senin, 12 Agustus 2019.
Selain koreksi pada pertumbuhan, Bambang memperkirakan resesi akan mengakibatkan arus investasi masuk ke Indonesia tidak sebesar yang diharapkan. Untuk mengatasinya, pemerintah akan terus mengurangi sejumlah hambatan di bidang investasi.
“Sebagian investasi mungkin karena keterbatasan sumber investasinya, tapi juga karena sulitnya masuk Indonesia,” kata Bambang.
Dalam sebuah laporan pekan ini, Moody's Analytics memaparkan bahwa perang perdagangan habis-habisan antara dua negara berekonomi terbesar di dunia itu berisiko membuat ekonomi AS jatuh ke dalam resesi pada akhir 2020. Prediksi ini juga tak lepas dari berlarutnya perang dagang antara AS dan Cina.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi mengenakan tarif impor tambahan sebesar 10 persen atas barang-barang asal Cina senilai US$ 300 miliar. Jumlah ini lebih dari separuh ekspor Cina ke Amerika yang sebesar US$ 500 miliar. Tarif dari Trump ini pun dibalas dengan kebijakan retaliasi oleh Presiden Cina Xi Jinping.
Belum selesai perang dagang, kini ekonomi global diterpa ancaman perang mata uang antara Dolar dan Yuan. Trump awalnya menuding Cina sebagai manipulator mata uang. Tudingan muncul setelah nilai tukar Yuan melemah ke level 7 yuan per dolar Amerika Serikat. Ini adalah nilai terendah sejak 2008. Yuan sengaja “dilemahkan” sebagai upaya Cina melawan pengenaan tarif terhadap produk mereka di Amerika Serikat. Jika Yuan melemah, maka ekspor Amerika ke Cina bakal tertekan.
Selain Moody’s Analytics, bank investasi asal Amerika Serikat, Goldman Sachs Group Inc mengatakan bahwa kekhawatiran perang dagang AS-Cina mengarah ke resesi semakin meningkat. Lembaga itu juga tidak lagi memperkirakan kesepakatan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia sebelum pemilu presiden AS 2020. "Kami memperkirakan tarif yang menargetkan sisa US$ 300 miliar dari Cina akan berlaku," kata bank itu dalam catatan yang dikirim kepada para nasabahnya, Ahad, 11 Agustus 2019.
FAJAR PEBRIANTO