TEMPO.CO, Bandung - Otoritas Jasa Keuangan atau OJK mengajukan permintaan tambahan penyidik spesialis perkara jasa keuangan kepada Markas Besar Kepolisian RI.
Baca: Rabobank Tutup Operasi, Regulator Seharusnya Lihat Ini Warning
Menurut Direktur Penyidikan Jasa Keuangan OJK, Brigadir Jenderal Janner Humala Pasaribu, permintaan tersebut diajukan setelah tiga perwira menengah yang bertugas di lembaganya kembali ke institusi asal mereka dengan alasan pengembangan karir.
“Bulan ini sudah kami ajukan, tentunya sesuai dengan jumlah penyidik yang kembali bertugas di kepolisian atau akan menempuh pendidikan,” kata dia saat ditemui di Hotel Four Points Bandung, Jumat, 3 Mei 2019.
Janner mengatakan OJK awalnya memiliki 21 penyidik. Sebanyak 11 di antaranya adalah polisi dan delapan lainnya penyidik pegawai negeri sipil atau PPNS. PPNS tersebut berasal dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Mereka bertugas menyelidiki perkara jasa keuangan yang dilimpahkan dari direktorat pengawasan OJK, mulai dari tindak pidana perbankan, asuransi, hingga kasus penyelewengan di lembaga jasa keuangan lain seperti pasar modal dan dana pensiun. “Tentu dengan spesialisasi masing-masing,” ujar dia.
Janner pun mengakui jika jumlah penyidik OJK saat ini belum bisa dikatakan ideal. Terutama, kata dia, berkaitan dengan banyaknya perkara yang muncul di tingkat kantor regional atau perwakilan OJK di daerah.
Meski demikian, Janner enggan memerinci jumlah ideal penyidik yang diperlukan OJK mengingat kebutuhan di setiap kantor perwakilan berbeda-beda. “Ada kantor perwakilan yang tingkat penanganan perkaranya tinggi, dan sebaliknya. Namun minimal mesti ada satu tim yang terdiri dari lima penyidik,” katanya.
Baca: Era Disrupsi Teknologi, OJK Sebut Ada 5 Skenario Nasib Perbankan
Sejak 2017 hingga saat ini, Direktorat Penyidikan Jasa Keuangan OJK sudah melimpahkan 28 perkara ke pengadilan. Sebanyak 14 di antaranya sudah divonis dan memiliki kekuatan hukum tetap atau inkracht. Dari jumlah perkara yang in kracht sebanyak 13 di antaranya merupakan pelanggaran hukum di sektor perbankan dan satu lainnya perkara lembaga keuangan nonbank.