TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan ada tiga kelompok yang belum bisa diproduksi secara massal di dalam negeri sehingga harus impor. Ketiganya yaitu kelompok barang besi, baja, dan turunannya; petrokimia; dan kimia dasar.
Baca juga: BPS: Impor Maret 2019 Naik 10,31 Persen Jadi USD 13,49 Miliar
Walhasil, Indonesia terpaksa mengimpor ketiga kelompok barang ini dengan jumlah yang banyak. "Ketiganya mendominasi 60 persen dari impor Indonesia," kata Darmin pada pembukaan acara di Indonesia Convention Exhibition (ICE) Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, Banten, Senin, 15 April 2019.
Memang ada pabrik besi dan baja tanah air yaitu PT Krakarau Steel. Tapi Darmin mengatakan, perusahaan tersebut baru belakangan ini mengolah langsung biji besi menjadi produk besi dan baja. Sebelumnya Krakatau Steel hanya bergerak mengumpulkan besi bekas dan mengolahnya kembali.
Lalu dari sisi petrokimia juga mengalami kondisi serupa. Darmin lalu mencontohkan beberapa produk-produk petrokimia yang banyak digunakan di dalam negeri, mulai dari pipa plastik, poliester pada produk pakaian, hingga produk-produk pada farmasi dan pakaian. Lalu terakhir yaitu produk-produk dari kimia dasar yang juga digunakan dalam sektor farmasi.
Atas kondisi ini, kata Darmin, pemerintah telah berupaya menekan laju impor dengan menyiapkan sejumlah insentif. Salah satunya yaitu penyediaan tax holiday yang rata-rata diarahkan untuk ketiga kelompok barang ini.
Selain itu, pembatasan impor dilakukan dengan menyiapkan sejumlah regulasi di tingkat kementerian terkait.
Dari kelompok barang kimia dasar, Direktur Utama PT Kimia Farma (Persero) Tbk, Honesti Basyir, juga telah jauh-jauh hari menyampaikan kondisi ini. Saat ini, kata dia, industri farmasi nasional masih bergantung pada bahan baku impor. Lebih dari 90 persen bahan baku farmasi masih didatangkan dari luar negeri, seperti Cina dan India.
"Terkait bahan baku, masalah utamanya industri kimia dasar di Indonesia tidak berkembang, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan bahan baku farmasi," ujarnya di Selasa, 2 Oktober 2018.
Sementara dari kelompok barang besi, baja, dan turunannya, berdasarkan South East Asia Iron & Steel Institute (SEAISI) yang diolah Krakatau Steel, impor baja pada 2018 berkisar 7,7 juta ton. Jumlah tersebut mencakup 55 persen dari konsumsi baja nasional pada 2018 sebesar 14,2 juta ton.
Jumlah tersebut meningkat dibandingkan 2017 dengan impor sebanyak 7,1 juta ton atau 52 persen dari konsumsi 13,6 juta ton. Adapun, pada 2016 impor baja sebanyak 6,9 juta ton atau 54 persen dari konsumsi 12,7 juta ton.
Akibat adanya peningkatan tersebut, pemerintah pun berupaya mengendalikannya dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 110 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya sejak 20 Januari 2019.
Direktur Eksekutif Asosiasi Baja Nasional (IISIA) Yerry Idroes mengatakan pihaknya pun telah mengimbau seluruh anggotanya untuk mendukung penerapan regulasi tersebut. Himbauan disampaikan dalam surat edaran sebagai tindak lanjut pembahasan impor baja antara Menteri Perindustrian dengan hampir 400 perusahaan baja.
"Edaran itu dibuat atas data masa lalu, supaya masa depan tidak terjadi lagi [peningkatan impor baja]. Sesuai pembahasan dengan menteri pada awal Januari, disampaikan permohonan untuk menggunakan baja yang sudah diproduksi di dalam negeri," ujar Yerry pada 5 Februari 2019.
Sementara untuk kelompok barang petrokimia, keluhan disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada 12 Maret 2019 dalam Rapat Koordinasi Nasional Investasi Tahun 2019 yang juga diadakan di ICE BSD, Banten. Saat itu, Jokowi meminta semua pihak mempercepat pelayanan perizinan untuk investasi yang mengarah pada sektor hilir atau pengolahan dan industri petrokimia.
"Kalau sudah investasi sektor hilir dan petrokimia sudah dengan tutup mata berikan saja," katanya. Khusus untuk investasi petrokimia, Jokowi menyebutkan impor produk petrokimia saat ini sangat besar sehingga kontribusinya kepada defisit neraca transaksi berjalan juga besar.
Baca berita impor lainnya di Tempo.co
BISNIS