Ridwan berpendapat sebaiknya dalam menghadapi perdagangan bebas tersebut, sektor industri otomotif tidak perlu merasa kaget. Karena beberapa waktu lalu sudah ada semacam warming-up berupa ASEAN Industry Joint Venture (AIJV), dengan menerapkan ASEAN content sebesar 40 persen dan 30 persen ASEAN owner ship. Jadi kita enggak usah takut,ucap Ridwan.
Kalaupun ada kekhawatiran, datangnya justru dari para produsen mobil. Pasalnya, menurut Ridwan, industri mobil di Indonesia tidak tergolong besar. Namun, untuk mobil jenis Kijang, ketakutan terhadap pesaing dari luar negeri bisa ditekan. Menurut dia, kendaraan keluarga itu agak unik sebab angka penjualannya ke negara maju relatif lebih rendah dibandingkan jika dijual ke negara berkembang.
Dihubungi terpisah, A Safiun, Ketua Harian Gabungan Industri Alat-alat Mobil dan Motor (GIAMM) menyebutkan neraca perdagangan Indonesia di sektor industri pada 1996 hingga 1999 mengalami surplus. Angka pertumbuhan ekspor senilai 12,82 persen dan angka pertumbuhan impor dari negara ASEAN sebesar 8,66 persen. Walau demikian, lanjut Safiun, industri Indonesia perlu didukung sektor lainnya karena pasar bebas membutuhkan barang yang dapat memenuhi persyaratan permintaan pasar.
Menurut dia, produk-produk potensial yang berdaya saing kuat membutuhkan daya dukung perangkat teknis yang terakreditasi secara internasional. Perangkat itu berupa sistem standar mutu dengan laboratorium pengujian untuk mempertahankan mutu yang dihendaki konsumen internasional.Akan terbina kepercayaan konsumen dengan adanya quality assurance,papar Safiun.
Selain itu, sistem standardisasi serta laboratorium kalibarisasi harus mengikuti rambu-rambu negara tujuan ekspor yang konsisten dengan sistem itu. Di sisi lain, Indonesia dapat terhindar dari membanjirnya arus barang impor yang bermutu rendah. Untuk mengatasi permasalahan mutu dan standardisasi, pemerintah harus membentuk Lembaga Sertifikasi Produk untuk semua produk dengan menetapkan penggunakan label SNI (Standar Nasional Indonesia).
Safiun memaparkan, untuk mempermudah proses ekspor dan impor tanpa melalui dua kali pengujian, telah disepakati ASEAN Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangements (MRA). MRA merupakan kesepakatan mengenai pengakuan bersama atas produk-produk tertentu antara negara-negara anggota ASEAN.
Ruang lingkup MRA mencakup sertifikasi hasil uji oleh laboratorium pengujian dengan memenuhi standar internasional 17025 dan sertifikasi produk oleh lembaga sertifikasi produk dengan memenuhi standar ISO Guide 65. Infrastuktur yang harus disiapkan untuk mendukung pelaksaan MRA berupa laboratorium pengujian, peralatan dan sumber daya manusia.
Menyikapi tantangan pasar bebas 2002, lanjut Safiun, Indonesia harus melakukan reorientasi kebijaksanaan di bidang industri dan perdagangan. Selain itu, pemingkatan produktivitas diharapkan dapat meningkatkan daya saing internasional sektor industri melalui transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif.
Sementara itu, menurut Setiono, Direktur Alat Angkut dan Kedirgantaraan, Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka (ILMEA) Deperindag, standar mutu yang ditetapkan harus diupayakan untuk melindungi konsumen. Bahkan, standar kompentesi harus dimatangkan agar bisa diadopsi secara nasional. Tapi lembaga pengujian ini menyita waktu dan biaya,ungkap Setiono.
Menurut dia, Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk beberapa komponen sudah diberlakukan. Namun, karena keterbatasan lembaga pengujian, kata Setiono, tidak semua komponen dapat diberlakukan sesuai SNI. Dalam tataran implementasi, peneran SNI berlaku untuk menilai kualitas barang, baik produksi dalam negeri maupun produk impor.
Hal yang juga penting, kata Setiono, adalah bagaimana mewujudkan kesepakatan pengujian dengan negara produsen untuk menilai kualitas mutu barang.Harus ada harmonisasi tarif supaya harga barang konsisten, karena rawan untuk produk barang dari luar ASEAN,ungkap Setiono. (Hilman Hilmansyah)