TEMPO.CO, Jakarta - Institute of Development of Economics and Finance atau Indef menilai perbaikan data beras yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik atau BPS pada Oktober 2018 kemarin tak cukup untuk membendung kemungkinan inflasi pangan di akhir tahun. Peneliti Indef, Rusli Abdulah mengatakan sebabnya data yang dikeluarkan BPS masih berupa potensi produksi bukan riil produksi.
BACA: Harga Beras Medium Naik di Pasar Cipinang, Mentan: Ada Anomali
"Tapi data itu sifatnya masih berpotensi bukan riil. Jadi masih ada tantangan, produksi beras itu selalu over di awal tahun tapi kurang di akhir tahun," kata Rusli saat mengelar diskusi bertajuk "Mewaspadai Inflasi Pangan" di Restoran Rantang Ibu, Jakarta Selatan, Kamis, 15 November 2018.
Sebelumnya, pada Oktober 2018 kemarin, BPS telah mengeluarkan rilis penghitungan baru mengenai proyeksi produksi beras hingga akhir tahun. Merujuk data tersebut, BPS memperkirakan Indonesia akan memiliki surplus beras sebanyak 2,85 juta ton hingga akhir 2018. Data beras baru tersebut dikeluarkan dengan menggunakan perbaikan metodologi perhitungan data produksi beras melalui metode kerangka sampel area atau KSA.
Rusli mengatakan dengan dengan hadirnya data beras yang baru dan dinilai lebih akurat tentu akan membantu mengurangi kemungkinan terjadi polemik terkait data pangan khususnya beras. Kendati begitu, proyeksi surplus dalam data baru sebar 2,85 juta ton baru bisa tercapat apabila produksi beras pada bulan November dan Desember mencapai target masing-masing sebanyak 1,5 juta ton.
"Mencapai target produksi itu cukup berat, karena di akhir tahun bukan merupakan musim tanam bukan panen. Belum lagi ada ancaman banjir akibat musim hujan juga harus dipertimbangkan," kata dia.
Kemudian, Rusli juga mengatakan bahwa merujuk data tren yang ada harga beras selalu naik di akhir tahun dan di awal tahun. Misalnya harga beras di tingkat penggilingan yang menanjak pada Desember 2017 dan baru menurun pada Maret 2018.
Rusli mencontohkan, merujuk pada data Badan Pusat Statistik atau BPS pada September 2016 hingga Januari 2017, kenaikan beras kualitas premium naik sebesar 3,26 persen atau sebesar Rp 298 per kilogram, kualitas medium naik sebesar 1,33 persen atau sebesar Rp 119 per kilogram dan beras kualitas rendah naik 0,84 persen atau sebesar Rp 72 per kilogram.
Sedangkan pada September 2017 hingga Januari 2018, harga beras premium naik sebesar 9,28 persen atau sebesar Rp 879 per kilogram, beras medium naik 13,97 persen atau sebesar Rp 1.242 per kilogram dan beras kualitas rendah naik sebanyak 12,93 persen atau setara Rp 1.121 per kilogram.
Karena itu, Rusli menilai keberadaan adanya data beras yang baru tak cukup untuk membendung kemungkinan terjadinya inflasi harga pangan pada akhir tahun ini. Apalagi, merujuk pada tren tiga tahun terakhir harga barang bergejolak atau volatile food selalu tinggi sehingga menyumbang cukup banyak bagi angka inflasi khususnya pada bulan Desember. Misalnya, merujuk data BPS, pada Desember 2017 kemarin tingkat inflasi mecapai 0,71 persen. Sedangkan inflasi volatile food mencapai angka 2,46 persen.
Rusli juga menilai, surplus beras yang diproyeksikan, lewat data beras terbaru juga bukan merupakan jaminan harga beras akan stabil hingga akhir tahun. Hal ini terkait adanya aksesibilitas dari masing-masing wilayah dalam mendapatkan pasokan beras.