TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Agama angkat bicara menanggapi tudingan bekas Deputi Senior Bank Indonesia Anwar Nasution soal pelemahan rupiah terkait jumlah kuota haji yang diberikan. Pada Sabtu pekan lalu, Anwar mengatakan salah satu yang menyebabkan nilai tukar rupiah melemah yaitu keputusan pemerintah Indonesia yang memberangkatkan jamaah haji dan umrah dalam jumlah yang cukup besar.
Baca: Anwar Nasution Sebut Jumlah Jamaah Haji RI Turut Lemahkan Rupiah
Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu Kementerian Agama, Ramadhan Harisman, menilai pandangan itu tidak tepat dan berlebihan. “Terlalu berlebihan jika pemberangkatan jemaah haji dianggap melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,” kata Ramadhan, dikutip dari situs resmi Kementerian Agama, Selasa, 11 September 2018. "Banyak faktor lain yang mempengaruhi lemahnya nilai tukar rupiah."
Menurut Ramadhan, kebutuhan valuta asing (valas) untuk operasional haji jauh lebih kecil ketimbang valas untuk impor migas. Belum lagi bila dibandingkan dengan pembayaran utang korporasi yang jatuh tempo pada periode tertentu di tahun berjalan.
Bicara hitungan angka, Ramadhan memaparkan, total biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji reguler tahun ini sebesar Rp 14,1 triliun berupa mata uang rupiah dan riyal (SAR). Dari total angka tersebut, pembiayaan dalam mata uang Saudi sebesar SAR 2,1 miliar atau US$ 560 juta.
Pembayaran itu pun, kata Ramadhan, tidak digelontorkan langsung, melainkan secara bertahap dalam 4-5 bulan masa operasional haji. Sedangkan sisanya dibayar dalam bentuk rupiah, termasuk ongkos penerbangan haji.
Selain itu, pembayaran setoran awal dan setoran pelunasan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) oleh jemaah juga menggunakan rupiah. “Dengan demikian, pada saat pembayarannya tidak berpengaruh terhadap kebutuhan SAR maupun USD dalam negeri,” tutur Ramadhan.
Sebelumnya, Anwar Nasution menjelaskan, yang dimaksud dengan banyaknya jumlah jamaah haji dan umrah malah menggerus devisa adalah karena pada akhirnya uang yang dikeluarkan oleh para jamaah hanya akan mengalir ke luar negeri. "Emang ada restoran padang di Mekah, misalnya? Enggak ada, kan? Paling warung-warung kecil. Ini yang salah, tidak dimanfaatkan dengan baik," kata dia, Sabtu, 8 September 2018.
Anwar juga mengatakan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar juga dikarenakan fundamental ekonomi di Indonesia masih sangat lemah. Menurut dia, fundamental ekonomi Indonesia dianggap belum mampu menahan gejolak dari luar. "Bohong pemerintah itu mengatakan kalau fundamental ekonomi Indonesia kuat. Omong kosong," kata dia.
Buktinya, kata Anwar Nasution yang juga mantan ketua Badan Pemeriksa Keuangan ini, rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah yang berada di angka 10 persen. Jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya yang berada di angka 20 persen, rasio penerimaan pajak Indonesia hanya setengahnya. "Padahal kita udah 73 tahun merdeka. Ngapain merdeka kalo ngutang melulu, pinjam melulu," ujar dia.
Lebih jauh, Anwar menilai ekonomi Indonesia saat ini sangat rawan terhadap gejolak dari luar negeri yang menyebabkan jika bunga meningkat maka biaya pembayaran utang di Indonesia juga meningkat. Selain itu, jika kurs meningkat juga mengakibatkan naiknya harga suatu komoditas. "Tempe, itu harganya naik karena impor kedelainya," tutur dia.
Baca: Kata Ekonom Soal Anwar Nasution Anggap Fundamental Ekonomi Lemah
Anwar Nasution juga mengatakan lembaga keuangan dalam yang ada di Indonesia juga dinilai masih sangat lemah. Lembaga keuangan yang dimaksud yaitu bank pemerintah seperti empat bank negara (BUMN). "Maksudnya 4 bank negara ini enggak bisa lawan bank-bank seperti CIMB, Maybank dan juga Development Bank of Singapore."
KARTIKA ANGGRAENI