TEMPO.CO, Jakarta - Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia atau Gaikindo mengeluhkan belum meratanya kualitas biodiesel dengan campuran minyak sawit 20 persen atau B20 di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Indonesia. Padahal, pemerintah telah mengimplementasikan biodiesel B20 untuk kendaraan Public Service Obligation (PSO).
Baca: SPBU Isi Bensin Melebihi Kapasitas Tangki
"Kalau kualitasnnya sudah B20 untuk standar euro 2 tentu saya senang, tapi kami mendapati kualitas antar pom bensin saja berbeda-beda," ujar Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi di acara Ngobrol@Tempo di Hotel Westin, Jakarta Selatan, Jumat, 20 Juli 2018.
Padahal, kata Nangoi, penerapan biodiesel B20 adalah program pemerintah yang telah diatur standarnya. Sehingga, mestinya kualitasnya sama di seluruh Indonesia. "Ini kok enggak standar."
Nangoi menceritakan beberapa kali mobil keluaran pabrik anggota Gaikindo tidak lolos tes Kementerian Perhubungan kala menggunakan bahan bakar biosolar yang beredar di pasaran. "Akhirnya untuk bisa lolos tes, saya pergunakan saja Pertadex."
Selain itu, ia juga meminta kepada produsen biodiesel B20 dan pemerintah untuk memaparkan efisiensi penggunaan bahan bakar biodiesel B20. Sebab, kerap kali ada konsumen yang mengeluhkan borosnya penggunaan bahan bakar. "Jangan salahkan mesinnya, seharusnya standarnya disamakan," ujar Nangoi.
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menyebut temuan Gaikindo itu adalah hal yang wajar. "Selama itu cuma berbeda 1-2 persen ya sudah lah, memang itu kenyataannya," ujar Paulus.
Baca: BPH Migas Keluhkan Jumlah SPBU Masih Sedikit
Yang penting, menurut Paulus, secara rata-rata kandungan minyak sawit dalam bahan bakar solar bersubsidi di SPBU tetap 20 persen. Ia lantas mendorong agar kandungan minyak sawit itu tidak hanya ada pada BBM bersubsidi melainkan juga yang non-subsidi.
"Hampir semua yang non subsidi itu semua belum, namun ada beberapa perusahaan yang sudah pakai," kata Paulus lagi.