TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BNI, Ryan Kiryanto, menilai kenaikan suku bunga acuan menunjukkan Bank Indonesia memberikan sinyal pengetatan moneter yang hati-hati dan terukur. Ryan yang juga Coorporate Secretary BNI menilai langkah BI itu untuk menjaga kestabilan makroekonomi.
Pernyataan Ryan merespons langkah BI yang menaikkan suku bunga acuan atau BI 7 Day Repo Rate sebesar 50 basis poin menjadi 5,25 persen. "Langkah taktis BI tersebut harus segera diimbangi oleh pemerintah melalui pengelolaan kebijakan fiskal yang hati-hati, kredibel dan produktif untuk menggairahkan sektor riil, ekspor nonmigas dan investasi langsung," kata Ryan saat dihubungi Sabtu, 30 Juni 2018.
Baca: Bank Mandiri Tahan Suku Bunga Kredit Hingga Akhir Tahun
Menurut Ryan harmoni kebijakan moneter dan fiskal penting agar level kepercayaan pasar tetap terjaga dengan baik. Kepercayaan pasar ini yang akan membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia dan kurs rupiah menguat lagi.
Seperti diketahui, pada Jumat lalu BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 5,25 persen. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG).
Baca: Siap-siap, Suku Bunga Kredit BRI Naik Bulan Depan
Keputusan kenaikan suku bunga acuan itu juga diikuti kenaikan deposit facility sebesar 50 basis poin menjadi 4,5 persen. Sedangkan lending facility naik sebesar 50 basis poin menjadi 6 persen. Dengan kenaikan tersebut, BI telah menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali dalam enam bulan terakhir.
Lebih lanjut Ryan mengatakan harus diingat, perlambatan ekonomi tidak selalu harus direspons oleh BI dengan mengotak-atik kebijakan moneter seperti suku bunga acuan. Hal itu juga tidak selalu harus direspons BI dengan kebijakan makroprudensial maupun kombinasinya atau bauran kebijakan. "Mungkin jawabannya justru dari sisi pemerintah dengan kebijakan fiskalnya," ujar Ryan.