TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri Indonesia atau Kadin Bidang Tenaga Kerja Bob Azam mengatakan kebijakan pemerintah ihwal penambahan cuti bersama Lebaran 2018, yang berlaku fakultatif atau tidak wajib bagi dunia industri usaha dan pelayanan publik, sudah tepat. Dia memastikan keputusan tersebut akan menguntungkan semua pihak. Kalaupun nanti ada pekerja yang merasa keberatan, kata dia, akan diselesaikan secara bipartit antara serikat pekerja dan korporasi.
“Nanti, kalau ada masalah, bisa dikembalikan ke bipartit. Surat edaran Menaker (Menteri Ketenagakerjaan) juga sudah ada, cutinya bisa tetap dipakai atau tidak, sesuai kebutuhan. Malah fleksibel,” ujarnya saat dihubungi Tempo pada Selasa, 8 Mei 2018.
Simak: JK: Perpanjangan Cuti Bersama Lebaran 2018 Tak Buat Ekonomi Macet
Hal itu dia ungkapkan menjawab pernyataan juru bicara Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan, Sherin Sarinah, yang mengatakan pekerja cenderung menuntut pemberian cuti sesuai dengan surat keputusan bersama (SKB), yang diterbitkan pada 18 April lalu. Namun pengusaha akan cenderung menolak karena potensi penurunan keuntungan. Dia mengatakan kedua pihak dikhawatirkan berselisih dalam bipartit.
Menurut Sherin, mayoritas pekerja menginginkan tambahan cuti bersama untuk beristirahat. Kenaikan upah yang minim, kata dia, menciptakan ketergantungan buruh pada bayaran lembur. "Selalu overtime. Jam kerja aktual pekerja manufaktur saja 10-12 jam per hari," ujarnya. Dia menambahkan, ada lebih dari 17 juta buruh yang saat ini bekerja di sektor tersebut.
Seperti diketahui, SKB yang disetujui tiga menteri menetapkan 11, 12, dan 20 Juni 2018 sebagai cuti bersama. Jika termasuk libur Lebaran pada 15-17 Juni dan empat hari cuti yang telah ditetapkan sebelumnya, total libur menjadi 10 hari berturut-turut.
Belakangan, pemerintah diprotes kalangan pengusaha hingga akhirnya menetapkan tambahan cuti tiga hari tersebut sebagai aturan fakultatif sehingga operasi logistik bisa berjalan seperti biasa. Pengusaha berpendapat, libur terlalu lama akan membuat masalah logistik dan distribusi barang terganggu.
“Kalau distribusi dan logistik tidak jalan, akibatnya barang langka dan harga naik. Kalau itu terjadi, yang rugi kan kita semua,” ucap Bob. “Negara lain hari kerjanya di atas 245 hari per tahun. Tahun ini kita cuma 240 hari kerja. Thailand 250 hari kerja, Vietnam 260 hari lebih.”
DEWI NURITA | YOHANES PASKALIS