INFO BISNIS - Situasi perekonomian Indonesia ke depan masih dalam kondisi baik. Pertumbuhan itu, menurut Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Reza Anglingkusumo, disebabkan karena para pelaku ekspor Indonesia dapat melakukan penyesuaian dengan cepat, mengingat pasar ekspor Indonesia terhitung cukup beragam apabila dibandingkan dengan negara ASEAN lain. Selain itu, cukup tingginya investasi menjadikan neraca perdagangan tetap surplus dan cadangan devisa tetap tinggi.
Dunia pasar modal pun dalam masa kejayaan. Terutama jika mengacu pada beberapa capaian rekor di sepanjang 2017, mulai level tertinggi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tertinggi penghimpunan dana, hingga jumlah investor yang tembus lebih dari 1 juta.
Baca Juga:
“Saat ini, fundamental ekonomi Indonesia cukup solid dan likuid,” kata Reza dalam acara Ngobrol@TEMPO bertema “Seberapa Penting Analisis Keuangan Terpercaya untuk Perkembangan Ekonomi Indonesia ke Depannya?”, akhir pekan lalu, di Financial Club, Graha CIMB Niaga, Jakarta.
Selain Reza, hadir pula Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Nicky Hogan dan Direktur Utama PT Garuda Indonesia sekaligus Presiden CFA Pahala Nugraha Mansury, dengan Tomi Aryanto dari Tempo sebagai moderator.
Pada 2017, dinamika sektor keuangan semakin menarik minat masyarakat Indonesia. Mulai instrumen investasi, pengelolaan aset dan utang negara, pengelolaan keuangan pribadi atau perusahaan, tren financial technology, ekonomi digital, hingga rencana perusahaan untuk melantai di bursa, merger, serta akuisisi. Bahkan dalam lima tahun mendatang, dinamika serta ketertarikan orang Indonesia terhadap keuangan diperkirakan meningkat. Artinya, ada kebutuhan peningkatan jumlah analis keuangan di Indonesia. Saat ini, analis keuangan di Indonesia yang memiliki sertifikasi berskala internasional masih sangat sedikit. Untuk sertifikasi Chartered Financial Analyst (CFA), pemegangnya baru sekitar 170 orang.
Baca Juga:
“Indonesia masih kekurangan analis keuangan yang memiliki sertifikasi berskala internasional. Pemegang sertifikasi CFA jumlahnya baru sekitar 170 orang. Indonesia tertinggal jauh dengan Singapura yang memiliki 2.000 profesional pemegang CFA. Jadi, tidak heran jika inovasi dan produk jasa keuangan di Singapura itu luar biasa,” ujar Pahala.
Untuk pengembangan pasar modal nasional, Indonesia membutuhkan sedikitnya 1.000 analis keuangan bersertifikat CFA. Karena dengan bertambahnya pemegang sertifikat CFA akan mendorong pertumbuhan investor domestik, terutama dalam penetrasi pasar dan memberi pemahaman berinvestasi di pasar modal dengan baik.
“Bursa Efek Indonesia menargetkan akan menjadi pasar saham terbesar di Asia Tenggara pada 2020. Untuk mencapai target tersebut, Indonesia membutuhkan 200 ribu (single investor idendtification) aktif dan 19 ribu pialang saham atau broker dealer. Nyatanya, saat ini kompetensi sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu tantangan perkembangan pasar modal Indonesia. Salah satunya, SID Investor Saham yang tidak sebanding dengan pialang saham yang ada,” ucap Direktur Pengembangan BEI Nicky Hogan.
Saat ini, minat untuk mendapatkan CFA mulai meningkat, terutama didominasi generasi muda yang umumnya masih duduk di bangku kuliah. Pemegang sertifikat CFA memiliki tingkatan yang sama dengan gelar master of business administration (MBA) dan dibutuhkan tidak terbatas hanya di pasar modal, tapi juga bisa di konsultan, perbankan, dan perusahaan sekuritas. (*)