TEMPO.CO, Jakarta - Vice President Research Department Indosurya Securities William Surya Wijaya memperkirakan pada Desember tahun ini bakal kembali jadi momentum peningkatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akibat aksi window dressing. Disebut window dressing karena emiten berupaya memacu kinerja di akhir tahun.
Selain itu, kata William, sejumlah perusahaan yang mengantongi laba bersih berpeluang melakukan pembagian dividen interim. "Kedua sentimen ini membuat investor cenderung melakukan aksi beli, sehingga bulan Desember IHSG cenderung meningkat secara historis," ujarnya akhir pekan lalu di Jakarta.
Baca: IHSG Cetak Rekor Level Penutupan Tertinggi Baru
Sejumlah saham sektor emiten yang diperkirakan menanjak dan menopang IHSG dalam empat pekan terakhir 2017 ialah perbankan, infrastruktur, perdagangan, serta komoditas, terutama yang termasuk kategori big caps.
Pada penutupan perdagangan Kamis pekan lalu, IHSG meninggalkan level 6.000 setelah menurun 1,8 persen atau 109,23 poin menuju 5.952,14. Namun demikian, harga masih meningkat 12,37 persen sepanjang 2017.
Menurut William, IHSG mengalami konsolidasi wajar setelah mengalami kenaikan yang terbatas. Harga indeks memang dianggap terlalu tinggi, sehingga investor wait and see untuk kemudian masuk lagi ke pasar saham.
Ketika harga naik terlalu tinggi, kata William, perlu adanya konsolidasi sehingga menarik investor kembali. "Karena itu, potensi window dressing bulan ini sangat terbuka," ujarnya.
William menyampaikan, sektor emiten yang menarik minat investor pada bulan ini ialah perbankan. Pasalnya, mayoritas saham-saham big caps yang menopang IHSG berasal dari segmen tersebut.
Momentum Natal dan Tahun Baru turut mengatrol kinerja emiten di sektor infrastruktur, terutama telekomunikasi dan jalan tol. Saat liburan, biasanya kebutuhan paket data handphone meningkat. Konsumen juga memanfaatkan paket data untuk saling mengirimkan ucapan selamat.
Sektor saham lainnya yang berpeluang meningkat ialah perdagangan dan consumer goods seperti UNVR serta MYOR. Pasalnya, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) terbilang stabil kendati isu penurunan daya beli cukup gencar beredar di masyarakat.
Dari sisi eksternal, IHSG turut diuntungkan kondisi pasar saham global yang cenderung menguat, terutama di Amerika Serikat. Isu penaikkan suku bunga Federal Reserve pada akhir 2017 juga sudah diantisipasi investor.
William menambahkan, ada kekhawatiran di pasar mengenai siklus penurunan ekonomi global 10 tahunan yang berlangsung pada 1998 dan 2008. Namun demikian, kondisi makro Indonesia dan dunia tentunya sudah lebih baik, sehingga pada 2018 pertumbuhan ekonomi masih menanjak.
Senior Analis PT Binaartha Sekuritas Reza Priyambada menyampaikan, investor lebih mengincar saham-saham perusahaan big caps dibandingkan pertimbangan soal sektor. Oleh karena itu, saham sektor perbankan bakal menghijau dalam sebulan ke depan.
Saham-saham big caps, menurut Reza, kebanyakan berasal dari sektor perbankan. "Sebenarnya investor memilih bukan karena pertimbangan sektornya, melainkan karena porsinya di market cap pasar modal cukup besar," ucapnya.
Saham emiten berkapitalisasi besar lainnya yang menjadi bidikan pelaku pasar dalam momen window dressing ialah GGRM, ASII, dan UNTR. Selain itu, saham perusahaan yang terkait komoditas energi berpotensi meningkat.
Menjelang akhir tahun, biasanya harga komoditas energi seperti minyak, batu bara, dan gas alam cenderung memanas akibat meningkatnya permintaan. Sentimen ini menjadi salah satu pertimbangan pelaku pasar untuk melakukan pembelian saham di sektor tersebut. "Tinggal nanti dilihat apakah semua saham terkait komoditas, atau investor kejar saham emiten komoditas yang big caps saja karena apresiasi harga lebih besar ke sana," tutur Reza.
Dalam sebulan terakhir 2017, pelaku pasar akan memantau sejumlah data ekonomi domestik dan mancanegara seperti tingkat inflasi, indeks manufaktur, dan perkembangan tenaga kerja. Investor juga memerhatikan rencana pengetatan kebijakan moneter dari sejumlah bank sentral utama global, khususnya Federal Reserve.
Sentimen global lain yang menjadi perhatian ialah perubahan kebijakan moneter Tiongkok dan gejolak geopolitik seputar Korea Selatan. Kedua negara menganut sistem informasi yang tertutup, sehingga tindakan-tindakan ataupun kebijakan yang diambil kerap mengagetkan pelaku pasar.