TEMPO.CO, Jakarta - Keberadaan agen travel online (online travel agent/OTA) telah menumbuhkan tingkat okupansi hotel di Indonesia. Namun di sisi lain, keuntungan yang didapat oleh pemilik hotel kian tergerus karena harus memberikan komisi ke agen-agen tersebut.
"Khususnya karena OTA-OTA asing," ujar Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukmandani di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin, 13 November 2017.
Baca juga: Okupansi Hotel di Indonesia Menurun, Ini Penyebabnya
Hariyadi mengatakan, keuntungan dari pemilik hotel kian tergerus karena komisi yang diminta oleh OTA asing dinilainya terlalu tinggi. "Komisinya sendiri bisa sebesar 15-30 persen," ujar Hariyadi yang juga merupakan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tersebut.
Hariyadi menambahkan, keberadaan OTA asing yang tidak memiliki badan usaha tetap di Indonesia juga menjadikan pemerintah tidak bisa memungut Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh 26) yang menurutnya harus dibayarkan oleh pihak OTA asing. "Kalau Dirjen Pajak melimpahkan PPh 26 tersebut kepada kita, ya jelas kita enggak mau (bayar)," ujarnya.
Hariyadi mengatakan bahwa PPh 26 yang menurutnya harus dibayarkan oleh pihak OTA asing adalah sebesar 20 persen dari penghasilan usaha. Angka tersebut jauh lebih besar dari PPh 23 yang ditagihkan kepada OTA lokal sebesar 2 persen.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Hariyadi mengatakan, bahwa PHRI telah berusaha menjalin komunikasi dengan OTA-OTA asing terkait. Namun hingga saat ini agen-agen tersebut masih belum memberikan respon apapun. "Kita sudah panggil Agoda, Booking.com, Expedia," katanya. "Namun yang datang selama ini cuma OTA lokal."
Untuk itu, Hariyadi meminta pemerintah untuk memanggil perusahaan-perusahaan OTA asing agar dapat memiliki badan usaha tetap di Indonesia. Hariyadi berujar, apabila pemerintah tidak bisa melakukan hal tersebut, makaiIa meminta pemerintah memblokir akses OTA asing di Indonesia. "Toh, OTA lokal masih ada," ujarnya.
Adapun Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Jamalul Izza, mengatakan bahwa pemblokiran akses OTA asing di Indonesia tidak perlu dilakukan. Ia menilai, keberadaan OTA asing sesungguhnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
Namun dirinya menyarankan agar pemerintah dapat memberi prioritas bagi OTA-OTA lokal untuk dapat berkembang. Caranya dengan memberikan insentif pajak bagi OTA-OTA lokal tersebut. "Agar nanti OTA lokal dapat memberikan harga yang lebih murah dibandingkan dengan OTA asing yang sampai saat ini tidak bayar pajak," ujarnya.
Untuk saat ini, Hariyadi mengatakan bahwa PHRI telah menjalin komunikasi dengan Direktorat Jenderal Pajak untuk dapat mengatasi masalah tersebut. Hariyadi juga mengatakan, komunikasi informal dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk penyelesaian masalah travel online asing juga telah dilakukan. Hariyadi berharap, pertemuan formal antara PHRI dan Kementerian Keuangan untuk membahas masalah tersebut dapat segera dilakukan.
ERLANGGA DEWANTO | YY