Seorang karyawan money changer menghitung uang kertas Rupiah, di Jakarta, 15 Desember 2014. Adek Berry/AFP/Getty Images
TEMPO.CO, Padang - Bank sentral menyebutkan pelaksanaan redenominasi (penyederhanaan pecahan mata uang) butuh persiapan selama 10 tahun. Waktu yang tak pendek diperlukan agar masyarakat benar-benar paham sebelum menerapkan kebijakan tersebut.
“Kami tidak terburu-buru, pemerintah juga karena masyarakat harus paham sekali apa itu redenominasi," kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara seusai melantik Kepala Perwakilan BI Sumbar Endy Dwi Tjahjono, di Padang, Senin, 7 Agustus 2017.
Mirza menjelaskan bahwa redenominasi berbeda dengan sanering (pemotongan uang) sebagaimana yang pernah diterapkan pada masa orde lama akibat inflasi yang mencapai ratusan persen. "Kalau sanering, nilai rupiah berubah. Sedangkan redenominasi dilakukan pada saat inflasi dan nilai uang tidak berubah," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa rencana redenominasi perlu memperhatikan kualitas perekonomian. "Redenominasi harus dilandasi fondasi ekonomi yang terjaga dengan baik dari sisi stabilitas,” tuturnya.
Stabilitas tersebut, menurut Sri Mulyani, tercermin dalam neraca pembayaran, kebijakan fiskal, dan moneter. "Semua harus memiliki kualitas terjaga sehingga menimbulkan confident.”
APBN dianggap realistis dan memiliki kredibilitas jika memperoleh "investment grade" dari lembaga pemeringkat. "Kalau kebijakan tetap konsisten, kondisi ekonominya bisa terjaga, dan pasti bisa menuju hal-hal yang positif," kata Sri Mulyani.
Menurut Mirza, untuk melakukan redenominasi harus ada Undang-undang. Setelah disetujui, butuh waktu 5 hingga 10 tahun untuk mempersiapkan. "Jadi, ini masih jangka panjang dan yang paling penting adalah masyarakat paham dahulu," kata Mirza.