Instalasi sistem pencahayaan terbaru berbasis LED (Light Emitting Diode) di Monas yang diselanggarakan PT.Philips Indonesia dengan tajuk "Kota Terang Hemat Energi" di pelataran Monas, Jakarta, (01/08). Pencahayaan berbasis LED dapat menghemat hingga 50%. TEMPO / Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Asosiasi Industri Perlampuan Listrik Indonesia (Aperlindo) John Manoppo menilai pemerintah kurang sigap menanggapi sertifikasi standar nasional Indonesia (SNI) terhadap lampu light emitted diode (LED) sehingga jumlah penjualan jenis ini masih minim.
Menurut John, penjualan lampu berjenis LED dirasa masih minim. Hal ini ditengarai jenis lampu tersebut belum mendapatkan sertifikasi SNI.
"Total kebutuhan nasional pada tahun lalu 360 juta unit, tapi hanya sebagian kecil lampu berjenis LED yang diserap. Hal ini karena konsumen lebih memilih jenis lampu yang sudah terjamin kualitasnya dengan label SNI," katanya kepada Bisnis, Jumat, 30 Juni 2017.
Pada 2016, total kebutuhan lampu LED hanya 80 juta unit. Angka tersebut terpaut jauh dengan jenis lampu hemat energi (LHE) sebanyak 280 juta unit. Pada 2017, kebutuhan lampu diperkirakan akan meningkat menjadi 400 juta unit.
"SNI untuk lampu bertipe LHE sudah resmi, tapi hingga saat ini belum ada sertifikasi SNI lampu berjenis LED," ucapnya.
Asosiasi mengkhawatirkan dampak belum adanya sertifikasi SNI untuk lampu bertipe LED akan membuat pasar domestik menjadi lebih rawan oleh produk impor. "Tanpa adanya sertifikasi SNI, impor lampu dari Cina akan mendominasi market share lebih banyak lagi, yang sebelumnya memiliki pangsa pasar 80 persen," ujarnya.
Menurut John, Asosiasi telah mengajukan sertifikasi SNI untuk tipe LED pada 2016 ke Kementerian Perindustrian. Namun Kementerian Perindustrian belum bisa memberikan kebijakan karena terkendala oleh terbatasnya laboratorium pengujian untuk lampu LED.