Solusi Kisruh Taksi Online, 3 Saran KPPU Untuk Pemerintah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat tnr
Rabu, 29 Maret 2017 07:48 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyarankan pemerintah adil dalam membuat kebijakan soal pengaturan taksi berbasis aplikasi dan taksi konvensional. Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan, pemerintah menjamin kesempatan berusaha yang sama baik itu taksi konvensional maupun taksi daring.
"Kami merekomendasikan agar pemerintah pusat atau daerah berdasarkan kewenangannya menetapkan besaran tarif batas atas saja, tidak untuk batas bawah. Regulasi batas atas dapat menjadi pelindung bagi konsumen dari proses eksploitasi pelaku usaha taksi yang strukturnya bersifat oligopoli," katanya, Selasa 28 Maret 2017.
Baca: Tarif Taksi Online Akan Menyamai Taksi Konvensional
Sedikitnya, tiga rekomendasi yang diberikan KPPU agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dapat mendorong penyelenggaraan industri jasa transportasi sesuai prinsip persaingan usaha yang sehat.
Rekomendasi pertama, KPPU meminta pemerintah menghapus kebijakan penetapan batas bawah tarif yang selama ini diberlakukan untuk taksi konvensional. Sebagai gantinya, wasit persaingan usaha ini menyarankan agar pemerintah mengatur penetapan batas atas tarif saja.
Menurutnya, penetapan tarif batas bawah akan berdampak pada inefisiensi di industri jasa angkutan taksi secara keseluruhan dan bermuara pada mahalnya tarif bagi konsumen. Tarif batas bawah juga menghambat inovasi untuk meningkatkan efisiensi industri jasa transportasi. Lebih jauh batas bawah tarif dapat menjadi sumber inflasi.
Kedua, KPPU menyarankan pemerintah agar tidak mengatur kuota atau jumlah armada baik taksi konvensional maupun online yang beroperasi di suatu daerah. Dengan demikian, penentuan jumlah armada bagi pelaku usaha angkutan diserahkan kepada mekanisme pasar.
Baca: Jakarta Dukung Aturan Taksi Online
Setiap pelaku usaha akan menyesuaikan jumlah armadanya sesuai kebutuhan konsumen. Pengaturan pemerintah akan mengurangi persaingan dan pada akhirnya merugikan konsumen.
Namun, pemerintah selaku regulator wajib mengawasi secara ketat pemegang lisensi jasa angkutan taksi. Pemerintah harus tegas dengan memberikan sanksi berupa pencabutan izin operasi alias mengeluarkan pelaku usaha dari pasar bila melanggar regulasi, Tujuannya agar pengawasan yang super ketat ini menjaga kinerja operator taksi konvensional dan berbasis aplikasi online untuk memenuhi standar pelayanan minimal.
Ketiga, KPPU menyarankan pemerintah menghapus kebijakan surat tanda nomor kendaraan (STNK) taksi daring yang diharuskan atas nama badan hukum. "Kewajiban STNK kendaraan taksi online atas nama badan hukum memiliki makna pengalihan kepemilikan dari perseorangan kepada badan hukum," katanya.
Rauf menambahkan, pemerintah sebaiknya mengembangkan regulasi yang dapat mengakomodasi sistem taksi online dengan badan hukum koperasi yang asetnya dimiliki oleh anggota. Walaupun STNK tetap tercatat sebagai milik perseorangan akan tetapi dapat memenuhi seluruh kewajiban sebagai perusahaan jasa angkutan taksi dalam naungan badan hukum koperasi.
KPPU memandang pengalihan STNK kendaraan pribadi menjadi koperasi tidak sejalan dengan prinsip gotong royong yang selama ini dibangun dan dianut oleh ekonomi Indonesia. Pengalihan ini juga tidak sejalan dengan UU Koperasi.
“Pemerintah seharusnya melihat sebuah peluang untuk mengembangkan sharing economy yang luar biasa besar dari taksi online ini, dengan mengubah tatanan di mana pelaku perseorangan bisa masuk ke dalam industri," kata dia.
BISNIS.COM