Para pedagang tengah memilih cabai rawit yang baru turun di Pasar Induk Keramat Jati, Jakarta, 7 Maret 2017. Harga cabai rawit merah di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dan Nusa Tenggara Barat (NTB) mencapai sebesar Rp 150.000 per kilogram hal tersebut menjadi harga cabai rawit merah termahal dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Tempo/Tony Hartawan
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas, mengatakan naiknya harga cabai di pasaran bukan karena kartel. Cuaca yang tidak menentu masih menjadi faktor utama cabai langka, yang bermuara pada naiknya harga cabai.
"Kami agak terlambat mengantisipasi iklim. Siklus cabai sudah kelihatan sejak 2016, cuacanya hujan terus. Hal ini sangat mengganggu produksi cabai di Indonesia," kata Dwi saat dihubungi Tempo, Selasa, 7 Maret 2017.
Dwi menilai, sejak tiga bulan lalu, cuaca di Indonesia sedang tidak bersahabat untuk petani cabai. Hal ini membuat banyak petani tak bisa panen dan membuat cabai langka di pasaran.
Dwi tidak setuju dengan adanya dugaan kenaikan harga cabai disebabkan oleh kartel yang bermain. Cabai termasuk barang yang tak bisa ditimbun. "Logika saya, cabai merupakan barang yang tak bisa bertahan lama dan akan cepat busuk jika didiamkan selama dua-tiga hari," katanya.
Hal tersebut ia nilai tidak logis dilakukan oleh kartel. Kecuali kartel tersebut memiliki sistem khusus untuk mengatur tempat penimbunan yang bisa mengatur suhu dan komposisi udara. "Sebenarnya jauh dari itu (kartel). Stok cabai memang menipis," kata Dwi.