Aturan Baru Dikhawatirkan Hambat Eksplorasi Panas Bumi
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat tnr
Senin, 6 Februari 2017 21:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Panas Bumi Indonesia kecewa terhadap Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Baca : Freeport Beroperasi 50 Tahun, di Papua Listrik Padam per Jam
Regulasi itu dikhawatirkan menghambat upaya penemuan cadangan panas bumi. "Pasal-pasalnya sangat bias. Justru bisa menghambat eksplorasi," ujar Ketua Asosiasi, Abadi Purnomo, Ahad 5 Februari 2017.
Abadi menyoroti pasal 11 peraturan itu, yang menyatakan kontrak jual-beli listrik panas bumi baru bisa ditandatangani jika pengembang sudah memiliki cadangan terbukti. Padahal, untuk memperoleh cadangan terbukti, pengusaha harus melakukan pengeboran eksplorasi.
Baca : Pemerintah Evaluasi Pengajuan IUPK Sementara untuk Freeport
Rata-rata biaya pengeboran US$ 8-10 juta per sumur. Jika eksplorasi gagal, risiko menjadi tanggung jawab pengembang. "Siapa yang mau membiayai eksplorasi? Pengusaha tidak ingin mengebor sumur yang listriknya belum tentu dibeli."
Pemerintah juga membuka peluang negosiasi antara PLN dan pengembang yang menambang uap panas di Jawa, Sumatera, dan Bali. Menurut Abadi, negosiasi adalah muara masalah tersendatnya perjanjian jual-beli listrik antara PLN dan pengembang.
Dalam aturan sebelumnya, PLN wajib membeli listrik dengan harga patokan tertentu yang berbeda di setiap daerah. Semakin tinggi biaya investasi di wilayah penambangan, harga jual listrik pun semakin tinggi. Skema itu disebut sebagai feed in tariff. "Aturan baru justru kembali ke rezim sebelum Undang-Undang Panas Bumi dibuat."
Baca : Proyek 'Disneyland' Lido Belum Didaftarkan di Jawa Barat
Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 29 ribu megawatt (MW). Sampai saat ini, pemanfaatannya baru sekitar 1.643 MW. Pemerintah menargetkan porsi energi panas bumi dalam bauran energi pembangkit listrik mencapai 7.200 MW pada 2025. Tanpa terobosan, kata Abadi, target ini bakal sulit tercapai.
Melalui Peraturan Menteri Energi Nomor 12 Tahun 2017, pemerintah mengatur harga jual baru listrik bertenaga biomassa, surya, angin, air, biogas, sampah kota, dan panas bumi.
Direktur Jenderal Energi Terbarukan dan Konservasi Energi, Rida Mulyana, mengatakan harga jual listrik dipatok berdasarkan biaya pokok penyediaan di tiap daerah. Kementerian membuka ruang negosiasi bagi PLN dan pengembang energi bersih di daerah tertentu, antara lain di Jawa, Sumatera, dan Bali.
Dia memastikan negosiasi tidak akan memperlambat pembangunan pembangkit, lantaran penetapan harga merupakan wewenang Menteri Energi. "Ujungnya, harga tetap di Menteri."
Menurut Rida, aturan ini justru menambah kepastian pembelian listrik pengembang oleh PLN. Sebab, regulasi menyatakan secara lugas kewajiban PLN membeli setrum dari energi bersih.
ROBBY IRFANY | DESTRIANITA