TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis sosial dari Papua, Arkilaus Baho, mengatakan selama 50 tahun PT Freeport Indonesia beroperasi, selama 48 tahun sejak saat itu tambang batu bara dan emas dari tanah Papua diambil, diolah, lalu dijual untuk kebutuhan energi negara-negara di luar. Menurut dia, Cina merupakan salah satu negara tujuan ekspor hasil tambang Freeport.
"Listrik di Cina menyala 24 jam tanpa henti dengan pasokan batu bara dari Papua. Sementara di Tanah Papua sampai kini listrik padam setiap jam. Apa yang salah?" Tutur Arkilaus saat memberikan paparan diskusi publik Kedaulatan Energi di Jakarta Pusat, Senin, 6 Februari 2017.
Baca : Temui Menko Luhut, Direktur CTI-CFF Bahas Sampah Plastik
Menurut Arkilaus, dalam kontrak karya (KK) Freeport tahap pertama pada 1967, hanya batu bara yang dilaporkan. Hingga kontrak karya perbaharuan ke-II di 1996, baru emas yang masuk daftar wajib objek pajak.
"Bila skema aset leluhur menjadi pijakan saat itu, tentu batu bara dan emas merupakan sumber energi bagi kehidupan bangsa Indonesia," ucapnya.
Baca Juga:
Kata Arkilaus, kini limbah Freeport menutup sebagian ruang dan lahan di Papua, seperti untuk berburu, meramu, dan mencari ikan. Freeport beroperasi sejak 1967, dengan luas konsesi sebesar 2,6 juta hektare termasuk menguasai 119,43 ribu hektare kawasan hutan lindung dan 1,7 juta hektare kawasan konservasi.
"Sampai kini pula tidak ada pembangkit listrik batubara milik negara berdiri dan menerangi tanah Papua. Justru PT Austindo Aufwind New Energi menyuplai listrik khusus area Freeport," kata dia.
Pernyataan Arkilaus dibantah oleh VP Corporate Communication PT Freeport Indonesia, Riza Pratama. Dalam klarifikasi tertulisnya yang dikirimkan kepada Tempo, Jumat, 17 Februari 2017, Riza menyatakan Freeport Indonesia telah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak mulai beroperasi di Papua pada 50 tahun yang lalu. "Kami merupakan perusahaan tambang yang menambang dan mengolah mineral berupa tembaga dan emas di Kabupaten Mimika, Papua berdasarkan Kontrak Karya dengan pemerintah Indonesia," kata Riza.
PT Freeport Indonesia juga mendirikan PT Smelting di Gresik, Jawa Timur, pada tahun 1996, untuk mengolah konsentrat tembaga di dalam negeri. PT Smelting merupakan smelter tembaga pertama di Indonesia yang dimiliki oleh PTFI dan konsorsium Jepang. "Sejak awal beroperasi, smelter tembaga yang dioperasikan bersama Mitsubishi ini memurnikan rata-rata 40 persen konsentrat tembaga produksi PT Freeport Indonesia. Saat ini PT Smelting memiliki kapasitas pemurnian hingga 1 juta ton konsentrat tembaga per tahun yang seluruhnya berasal dari tambang PTFI di Kabupaten Mimika, Papua," ujarnya.
Riza juga keberatan dengan pernyataan Arkilaus ihwal luas konsensi lahan. Sejak mulai beroperasi 50 tahun yang lalu luas wilayah operasi produksi adalah sebesar 10 ribu hektare (0,02 persen dari luas Papua) dengan wilayah pendukung sebesar 202.950 hektare. "Luas wilayah operasi dan pendukung PT Freeport yang telah sesuai dengan kontrak karya itu selanjutnya akan dikurangi menjadi 90.360 hektare sesuai dengan negosiasi dengan pemerintah yang masih berlangsung," ujar Riza.
Baca : Bakal Ada Pajak Kepemilikan Tanah untuk Tekan Spekulasi
Pada 13 Januari lalu, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara serta peraturan turunannya. Aturan tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Arkilaus menyambut baik dan menunggu realisasi dari PP tersebut karena selama ini ia menganggap pemerintah seakan takut pada Freeport sebagai pemegang KK. Namun melalui PP tersebut, pemerintah telah melarang KK mengekspor mineral hasil pengolahan atau konsentrat, merujuk pada amanat UU Minerba.
Salah satu aturan dalam pasal 170 UU Minerba menyatakan, pemegang kontrak wajib melakukan pemurnian mineral dengan membangun smelter dalam negeri dalam jangka waktu lima tahun sejak diundangkannya UU tersebut.
Baca : Tahun Ini, Setoran BUMN Diperkirakan Rp 205 Triliun
Sejak dibentuknya PP tersebut, maka hanya pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang bisa ekspor konsentrat. Dengan begitu pemegang KK yang ingin mengirim konsentrat ke luar negeri harus mengajukan perubahan status menjadi IUPK. Sebab hanya IUPK yang diizinkan untuk membangun fasilitas pemurnian mineral atau smelter di dalam negeri, dengan izin yang hanya berlaku lima tahun. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak dipenuhi, maka izin ekspor akan dicabut.
"Jadi ini momentum PP 1 mengembalikan kedaulatan energi Indonesia. Harus ada kebijakan nyata dari PP 1. Bayangkan 50 tahun Freeport di Papua tapi tidak ada listrik di Timika. Negara perlu hadir di sana," ucapnya.
DESTRIANITA