Petugas melayani warga di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Sulsel, 1 Juli 2015. BPJS akhirnya secara resmi beroperasi penuh mulai 1 Juli 2015, yang ditandai dengan tambahan program Jaminan Pensiun. TEMPO/Hariandi Hafid
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, Heri Gunawan, menilai, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak pantas mendapatkan penyertaan modal negara (PMN). Sebelumnya, pemerintah telah mengajukan PMN untuk BPJS Kesehatan sebesar Rp 6,83 triliun dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan 2016.
“Pola rujukan rumah sakit tidak jelas, proses pengambilan obat yang lama, hingga pemeriksaan laboratorium yang tidak ditanggung. Dari hasil kajian sistemik Ombudsman, ditemukan berbagai persoalan pelayanan dan operasional kesehatan. Haruskah institusi yang gagal melayani rakyat harus ditolong rakyat?" kata Heri dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 28 Juli 2016.
Heri juga menyoroti perolehan status wajar tanpa pengecualian (WTP) yang diperoleh BPJS. Menurut dia, BPJS telah menerima status WTP sebanyak 24 kali dari kantor akuntan publik atas audit laporan keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS). "Sangat ironis dan bertolak belakang ketika institusi yang berkali-kali mendapat WTP tapi memiliki manajemen kinerja yang buruk."
Menurut Heri, banyak PR yang harus dikerjakan BPJS sehingga kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut meningkat. BPJS, kata Heri, harus menjelaskan operasional dan pelayanannya yang buruk. "Kedua, perlu kajian holistik terkait kinerja keuangan BPJS. Ketiga, Badan Pemeriksa Keuangan perlu melakukan audit investigasi terkait kinerja BPJS," katanya.
Selain itu, Heri menilai, PMN yang diberikan kepada BPJS kontraproduktif dengan penghematan kementerian dan lembaga serta daerah. "Ini justru diberikan kepada sebuah institusi yang tidak efisien. Karena itu, selama hal-hal tersebut tidak mendapat penjelasan yang meyakinkan dan tidak dipenuhi, BPJS belum pantas mendapat PMN," ujar politikus Partai Gerindra itu.