Harga Minyak Anjlok, Aljazair Banyak Belajar dari Indonesia
Editor
Grace gandhi
Rabu, 27 April 2016 07:12 WIB
TEMPO.CO, Biskra, Aljazair - Pemerintah dan pengusaha Aljazair menyatakan minatnya belajar kepada Indonesia dalam melakukan diversifikasi produk ekspor, terutama yang berkaitan dengan sektor minyak dan gas. Harga minyak dunia yang terus anjlok hingga di kisaran US$ 40 per barel menjadi pukulan berat bagi perekonomian negara-negara di Afrika Utara, termasuk Aljazair.
“Indonesia dinilai berhasil mengelola ekonomi di sejumlah sektor, sehingga pemasukan negara pun berasal dari berbagai sumber,” ujar Duta Besar RI untuk Aljazair, Safira Machrusah, melalui rilis yang diterima Tempo, Rabu dinihari, 27 April 2016.
Untuk itu, Safira mengatakan sudah saatnya Aljazair melihat Indonesia sebagai mitra strategis di segala bidang. Hubungan historis yang sudah lama terjalin, ucap dia, perlu ditindaklanjuti dalam kerja sama nyata dan saling menguntungkan di antara kedua negara. “Indonesia siap menjadi mitra kerja sama perdagangan utama bagi Aljazair di segala bidang.”
Berdasarkan data Bank Dunia, anjloknya harga minyak dunia menurunkan angka pertumbuhan makro ekonomi Aljazair, dari 4,1 persen pada 2014 menjadi 2,9 persen di akhir 2015. Cadangan devisa yang pada 2014 sebesar US$ 206,9 miliar turun menjadi US$ 155,7 miliar pada 31 Desember 2015.
Pemerintah Aljazair berupaya mengurangi tingkat ketergantungan penerimaan negara dari sektor migas dengan menggalakkan diversifikasi ekonomi. “Aljazair memang harus mengembangkan sektor lain selain migas. Kami harus belajar banyak dari Indonesia,” kata Ketua Persahabatan Parlemen Indonesia-Aljazair Abderrahmane Benfarhat dalam pertemuan kerja sama ekonomi dalam rangka mendorong peningkatan investasi, perdagangan, serta pariwisata antara Indonesia dan Aljazair.
Saat ini pemerintah Aljazair sedang giat melakukan diversifikasi produk nasionalnya. Hal itu dilakukan menilik masih belum beragamnya produk ekspor negeri tersebut. “Komposisi ekspor kami sebanyak 95 persen berasal dari hidrokarbon, yakni migas, dan hanya 5 persen yang berasal dari komoditas nonhidrokarbon,” tutur Benfarhat.
Aljazair bahkan tak ragu mengubah sejumlah peraturan perundangan yang dianggap menghambat diversifikasi perekonomian di negaranya. Namun Benfarhat mengakui bahwa hal itu butuh waktu yang tak sedikit. Kendala utamanya ialah pola pikir masyarakat yang masih bergantung pada sektor migas.
“Saat ini masyarakat Aljazair sudah mulai banyak yang mengubah pola pikir yang melekat selama 40 tahun, tapi masih butuh waktu untuk pengembangan lebih jauh,” tutur Benfarhat.
ARTIKA RACHMI FARMITA