Presiden Joko Widodo (kiri) diskusi dengan Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiasteadi saat menghadiri Rapat Pimpinan Nasional III Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2016 di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Jakarta, 29 Maret 2016. Tempo/Aditia Noviansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memberikan beberapa catatan terkait dengan proposal rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak. Ia mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat bertanggung jawab untuk membenahinya.
“Dari proposal yang diajukan, salah satu catatannya adalah tarif yang terlalu rendah,” kata Yustinus di DPR, Selasa, 19 April 2016. Tarif Tebusan Pengampunan Pajak tanpa repatriasi untuk permohonan tiga bulan pertama sejak Undang-undang disahkan adalah sebesar 2 persen dari selisih nilai harta bersih yang dimohonkan untuk diampuni, dengan nilai harta bersih dalam SPT 2014 yang menjadi basis pengurang. Tiga bulan kemudian tarif meningkat menjadi 4 persen. Di semester kedua sejak undang-undang disahkan, tarif naik menjadi enam persen.
Sementara repatriasi dana dari luar negeri memiliki tarif tebusan 1 persen untuk permohonan tiga bulan pertama sejak undang-undang disahkan. Setelah tiga bulan tarif naik menjadi 2 persen sementara setelah enam bulan naik menjadi 3 persen.
Yustinus mengatakan tarif dasar 1 hingga 2 persen masih terlalu rendah. “Idealnya, antara 5 hingga 7 persen baru moderat,” katanya.
Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiastaedi mengatakan akan membicarakan besaran persentase tarif tersebut. “Soal tarif itu bukan masalah besar atau kecil. Tapi kami akan bicarakan kembali,” katanya di tempat yang sama. Ken mengatakan kemungkinan akan ada kenaikan 5 hingga 10 persen tarif tebusan tax amnesty.
Catatan Yustinus Prastowo lainnya adalah belum ada instrumen investasi yang memadai untuk menampung dana dari luar. Saat ini instrumen yang ada hanya berupa surat hutang, deposito, dan saham. Instrumen lain yang dipersiapkan, kata dia, bisa berupa reksadana, investasi properti, sekuritas, dan sebagainya di luar yang konvensional. “Kalau tidak ada, uangnya akan pergi lagi,” kata Yustinus.
Selain itu, skema repatriasi dinilai belum jelas. Yang juga penting adalah pengawasan pasca pengampunan. Yustinus menilai pemerintah belum memikirkan pengawasan efektif terhadap potensi penerimaan pajak riil dalam jangka panjang.
Yustinus mengatakan catatan tersebut perlu ditangani oleh DPR. Menurut dia, DPR harus terjun langsung mengawasi dan mengevaluasi untuk memastikan sistem perpajakan Indonesia ke depan akan memadai sehingga penerimaan pajak bisa ditingkatkan.
Yustinus mengatakan Undang-Undang Pengampunan Pajak dirancang agar pemerintah dapat menarik dana repatriasi serta memperluas basis pajak. Dalam jangka pendek, tujuannya untuk meningkatkan penerimaan pajak. Ia berharap dalam jangka panjang akan ada potensi pajak baru dengan meluasnya basis pajak. Potensi pajak baru tersebut akan meningkatkan penerimaan pajak secara berkesinambungan.
Rafael Alun Tetap Dihukum 14 Tahun Penjara di Putusan Banding
47 hari lalu
Rafael Alun Tetap Dihukum 14 Tahun Penjara di Putusan Banding
Rafael Alun Trisambodo, bekas pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, dalam putusan banding tetap menjatuhkan vonis 14 tahun penjara. Dengan denda Rp 500 juta.
DJP Kantongi Setoran Pajak Digital Rp 16,9 Triliun, Ini Rinciannya
5 Januari 2024
DJP Kantongi Setoran Pajak Digital Rp 16,9 Triliun, Ini Rinciannya
DJP Kemenkeu mencatat telah memungut pajak pertambahan nilai perdagangan melalui sistem elektronik alias pajak digital sebesar Rp 16,9 triliun pada akhir 2023.