TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan harus ada aksi nyata dengan adanya bocoran data Panama Papers. Ia menyebut aksi nyata sudah dilakukan oleh Perdana Menteri Islandia Sigmundur David Gunnlaugsson yang memilih mundur. "Itu tanggung jawab etis," katanya dalam diskusi “Bedah Kasus Aset Indonesia di Negeri Suaka Pajak” di Kota Tua, Jakarta, Selasa, 12 April 2016.
Sebelumnya, Perdana Menteri Islandia Sigmundur David Gunnlaugsson mengundurkan diri, Selasa, 5 April 2016. Pengunduran diri ini berkaitan dengan namanya yang masuk dalam daftar Panama Papers. Gunnlaugsson disebut memiliki perusahaan offshore yang memicu protes massa di Reykjavík, Ibu Kota Islandia.
Hal sebaliknya justru terjadi di Indonesia. Sejumlah nama orang Indonesia disebut-sebut berada dalam data Panama Papers, tapi reaksinya tak sebesar dibandingkan di luar negeri. Pasalnya, kata Prastowo, orang yang diduga terkait dengan kejahatan akan menuntut upaya pembuktian terbalik. "Kita belum sampai pada level etis bagaimana pejabat bisa malu," ucapnya.
Pandangan Prastowo diamini oleh Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Agus Santoso. Menurut dia, patut dicurigai bila ada pejabat negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang mempunyai akun atau perusahaan cangkang di Panama atau negara suaka pajak. "Dugaannya ialah akun itu untuk menerima komisi dari luar negeri," kata Agus.
Agus pun berharap pejabat negara yang tersangkut di Panama Papers agar mundur dari jabatannya. Saat ini PPATK sudah membentuk tim untuk merespons bocoran data tersebut. Tim akan menganalisis data apakah ada keterkaitan dengan tindak kejahatan keuangan. "Dua pekan ke depan kami akan undang Dirjen Pajak untuk verifikasi datanya," katanya.
Sementara itu, wartawan Tempo, Wahyu Dhyatmika, yang ikut terlibat dalam investigasi Panama Papers, berharap publik tidak fokus ke nama-nama yang ada di daftar. Ia menyebut Panama Papers menunjukkan adanya sistem keuangan yang tak terjangkau oleh aparat, bahkan dilindungi perbankan. "Kita butuh sistem keuangan yang transparan," tuturnya.