Tumpukan buah buahan impordi sebuah supermarket di Jakarta. Tempo/Rully Kesuma
TEMPO.CO , Jakarta - Asosiasi importir daging sapi, sayuran, dan buah, serta kelompok tani dan nelayan meminta pemerintah membentuk badan karantina nasional. Selain itu, mereka meminta agar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Tumbuhan diganti.
“Ini penting, terutama untuk menghadapi perdagangan di tingkat global,” kata Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa, 1 September 2015. Komisi Pertanian tengah menggelar rapat dengar pendapat (RDP) untuk penyusunan RUU Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.
Selain masalah perlindungan, Winarno mengatakan, badan karantina nasional dapat meningkatkan efisiensi. Selama ini, dalam pengurusan perizinan, eksportir atau importir harus melalui izin dari enam kementerian atau sektoral.
Misalnya, izin buah-buahan harus mengajukan ke Kementerian Pertanian. Sedangkan untuk ikan harus ke Kementerian Kelautan dan Perikanan. Undang-undang yang mengatur masalah ini juga banyak, ada 19 regulasi. Kepentingan yang berbeda ini rawan permainan.
“Makanya lebih baik disatukan ke badan karantina nasional, yang langsung bertanggung jawab kepada presiden. Jadi tak ada yang berani intervensi,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Eksportir Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia (Aseibssindo) Khafid Sirotuddin mengatakan kegagalan regulasi karantina saat ini terlihat dari pasar lokal yang kebanjiran buah-buahan dari Cina. “Padahal kualitasnya tidak bagus, tidak sesuai dengan standar kesehatan Indonesia. Kok bisa masuk?” katanya. Salah satu contoh adalah kasus apel berbakteri asal Amerika, apel Granny, yang sempat membuat heboh masyarakat.
Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas
3 hari lalu
Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi meminta pemerintah untuk mencari langkah antisipatif untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, salah satunya adalah dengan cara menyisir belanja tidak prioritas.