TEMPO Interaktif, Jakarta:Ketua Dewan Pengurus Nasional Wacana Masyarakat Tani Indonesia (Wamti), Agusdin Pulungan, mengatakan Peraturan Presiden No. 36/2005 tentang engadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum akan menimbulkan keresahan di kalangan petani khususnya karena tanah bagi mereka adalah alat subsistensi. "Tanah bagi mereka adalah untuk menjamin kebutuhan keluarga," kata Agusdin, Kamis (7/7). Selain itu, tanah merupakan cerminan dari harkat, martabat keluarga dan kenangan. "Nilai psikologisnya tidak bisa diukur dengan materi," ujarnya.Menurut Agusdin, latar belakang munculnya Perpres ini awalnya untuk memperlancar pembangunan infrastruktur sebagai komitmen pemerintah dalam Infrastructure Summit beberapa waktu lalu dan membutuhkan investasi sekitar Rp 810 triliun. "Jelas kemudian ini akan menjadi kepentingan para investor, khususnya investor jalan tol," kata dia.Meski dalam Perpres tersebut telah diatur mengenai mekanisme ganti rugi dengan cara musyawarah, namun menurut Agusdin, ide pemaksaan jelas akan tetap ada. "Karena di situ dicantumkan, jika dalam 90 hari tidak terjadi kesepakatan harga atau ganti rugi, maka jumlah ganti rugi akan ditetapkan secara sepihak oleh panitia pengadaan tanah," ujarnya.Oleh karenanya, pihaknya mendesak pemerintah untuk mencabut Perpres itu, karena pembangunan harus berada dalam koridor hukum yang masih berlaku, yaitu mengacu pada UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Rini Kustiani