CEO Air Asia, Tony Fernandes saat konverensi pers di ruang Crisis Centre, Terminal 2, Bandara International Juanda, Surabaya, Minggu 28 Desember 2014. Kedatangan CEO Air Asia ini terkait dengan hilangnya pesawat Air Asia 8501 dengan rute penerbangan Surabaya-Singapura.TEMPO/Fully Syafi.
TEMPO.CO, Jakarta - Sepekan terakhir, sosok Tony Fernandes wara-wiri di layar televisi Indonesia. Chief Executive Officer AirAsia Group ini jadi sorotan setelah pesawat Airbus A320-200 milik maskapainya mengalami kecelakaan di Selat Karimata.
Sosok, sikap, dan tindakan Tony dalam menangani musibah ini jadi sorotan. Pernyataan Tony di Twitter sesaat setelah serpihan pesawat AirAsia rute Surabaya-Singapura ditemukan banyak menuai simpati. Hingga kini, Tony ikut dalam proses evakuasi dan berada di tengah keluarga korban.
"My heart is filled with sadness for all the families involved in QZ 8501. On behalf of AirAsia my condolences to all. Words cannot express how sorry I am. (Hatiku penuh dengan kesedihan bagi semua keluarga yang ikut dalam QZ8501. Atas nama AirAsia saya ucapkan belasungkawa saya kepada semua. Kata-kata tidak bisa mengungkapkan betapa aku menyesal),” demikian cuitan Tony, Selasa, 30 Desember 2014.
Dalam dunia penerbangan, Tony Fernandes adalah fenomena. Pengusaha kelahiran Kuala Lumpur, 30 April 1964, ini mendirikan AirAsia pada 8 Desember 2001, dua bulan lebih setelah serangan teroris di New York. Tony melihat momen ini sebagai celah bisnis karena biaya leasing pesawat melorot hingga 40 persen dan banyak tenaga berpengalaman menganggur akibat mati surinya sejumlah perusahaan penerbangan selepas tragedi 11 September.
Dia lalu memperkenalkan hal baru dalam tradisi penerbangan Malaysia, yakni terbang dengan bujet rendah—no frill alias tanpa embel-embel servis. Menurut Tony, saat resesi menghadang banyak penumpang tidak akan membatalkan penerbangan. Justru mereka mencari tiket yang lebih murah. "Untuk menghemat," ujar Tony.