TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, menyatakan pemerintah perlu mengantisipasi asumsi dasar ekonomi terkait dengan kurs rupiah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015. Berdasarkan hasil pembahasan antara pemerintah dan DPR, kurs tukar rupiah disepakati rata-rata Rp 11.900 per dolar Amerika.
Nilai tukar rupiah ini lebih rendah dibandingkan kurs saat ini di kisaran Rp 12.172 per dolar. "Dilihat dari kondisinya, angka ini begitu optimistis, pemerintah perlu hati-hati untuk menjaganya," kata Latif ketika dihubungi, Selasa, 30 September 2014. (Baca: Kurs Regional Menguat, Rupiah Tertahan Politik)
Ia menjelaskan pemerintah memang semestinya optimistis bahwa kondisi perekonomian di tahun mendatang, bakal membaik. Namun pemerintah disarankan pula mempertimbangkan hal-hal yang kemungkinan bisa menjadi hambatan atau kendala dalam menjalankan anggaran. (Baca: 2015, Subsidi Energi Dijatah Rp 344,7 Triliun)
Misalnya rencana kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) untuk mempercepat kenaikan tingkat suku bunga. "Belum lagi penurunan pertumbuhan ekonomi Cina, resiko-resiko rupiah melemah masih ada," ujarnya. Oleh sebab itu, Latif menyarankan asumsi dan postur anggaran yang disepakati pemerintah untuk tahun depan dikaji kembali oleh pemerintahan baru dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut. (Baca: Rupiah Melemah, BI Intervensi Pasar Uang)
Menteri Keuangan Chatib Basri menegaskan bahwa asumsi dan postur anggaran yang telah diketok antara pemerintah dan DPR untuk tahun depan tidak perlu dikhawatirkan. Segalanya sudah dipertimbangkan, termasuk rencana kenaikan suku bunga oleh The Fed.
Ia memaparkan kurs rupiah saat ini justru sudah mengantisipasi kebijakan The Fed. "Pasar mengenal yang namanya price in, sudah dikalkulasi dan dimasukkan dalam nilainya," kata Chatib.