TEMPO Interaktif,
Jakarta: Mantan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi menilai keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan Pertamina bersalah dalam proses penjualan kapal tanker merupakan keputusan yang sangat politis. Bahkan dia beranggapan KPPU sudah keluar dari batas kewenangannya.Laksamana, yang pada saat itu menjabat sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (persero) mengatakan, keputusan penjualan kapal tanker justru untuk menyelamatkan, bahkan menguntungkan keuangan perseroan yang saat itu sedang sulit. Negara, menurut Laksamana, juga mendapatkan keuntungan dari situ."Posisi saya secara pribadi, direksi, maupun komisaris tidak mengambil keuntungan apa pun," ujarnya melalui layanan pesan singkat (SMS) ke telepon genggam wartawan Tempo Erwin Daryanto, Sabtu (5/3) dini hari (pukul 03.15 WIB). Dia menegaskan, keputusan yang diambil direksi dan komisaris Pertamina merupakan keputusan profesional dalam sistem korporasi. Alasannya, arus kas perusahaan saat itu dalam kondisi yang membahayakan, bahkan hampir default. Dana subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari pemerintah tak kunjung cair karena memang tidak ada dana. Laksamana mengaku telah memberikan penjelasan kondisi keuangan perseroan kepada KPPU. "Tapi KPPU ngotot pada pendapat mereka. Jadi ini adalah perbedaan pendapat ketimbang masalah persaingan usaha yang tidak sehat yang harus dipantau KPPU," ujarnya.Menurut Laksamana, sebagai pemimpin ia harus berani mengambil keputusan dalam keadaan sulit, berdasarkan niat yang baik. "Walaupun keputusan tersebut tidak bisa memuaskan semua pihak, apalagi mengganggu kenikmatan sekelompok orang yang telah dan akan mereka dapat."Kasus tersebut bermula dari pembelian dua unit tanker jenis very large crude carrier (VLCC) oleh Pertamina senilai US$ 65 juta per unit. Tanker dibangun di galangan Hyundai Heavy Industries, Ulsan, Korea, November 2002. Pemesanan dilakukan pada saat direktur utama dijabat Baihaki Hakim. Namun, dengan alasan kesulitan pendanaan, direksi yang baru (dipimpin Ariffi Nawawi) menjual tanker tersebut senilai US$ 184 juta untuk dua unit. KPPU menilai harga jual itu jauh lebih rendah dari harga pasar yang saat itu (Juli 2004) berkisar US$ 102-110 juta per unit atau US$ 204-240 juta untuk dua unit. Akibatnya, potensi penerimaan negara yang hilang dari selisih harga sebesar US$ 20-50 juta atau sekitar Rp 180-504 miliar. Pertamina juga dinilai bersalah karena melanggar UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pertamina, konsultan penjualan Goldman Sachs, dan pemenang tender Frontline, dinilai melakukan persekongkolan untuk memenangkan Frontline dalam proses tender. Buktinya, Goldman Sachs memberikan kesempatan kepada Frontline (melalui agennya/PT Equinox) untuk memasukkan penawaran tahap ketiga saat batas waktu penawaran sudah habis.Selain itu, pembukaan sampul penawaran Frontline tidak dilakukan di depan notaris, sesuai dengan ketentuan tender. Dalam penyelidikan, ditemukan pula fakta bahwa Frontline belum melunasi pembayaran dua unit tanker senilai US$ 184 juta. Diketahui, Frontline hanya membayar US$ 170,863 juta kepada Pertamina. Dalam putusannya yang dibacakan Kamis (3/3) lalu, KPPU menghukum Pertamina untuk melaporkan tindak persekongkolan yang dilakukan direksi dan penjualan aset negara tanpa seizin Menteri Keuangan kepada RUPS. Pertamina juga harus meminta secara tertulis kepada RUPS untuk mengambil langkah hukum terhadap direksi yang bersalah. Laporan dan permintaan tertulis itu harus dipublikasikan di lima surat kabar nasional berukuran minimal 1/8 halaman. Ketua KPPU Sutrisno Iwantono mengatakan, pihaknya tetap yakin bahwa keputusan yang telah dikeluarkannya adalah benar. Apalagi keputusan ini menguntungkan Pertamina karena potensi uang negara yang hilang akibat selisih harga sebesar US$ 20-50 juta atau sekitar Rp 180-504 miliar bisa dikembalikan kepada negara. Ketua Umum Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI) Otto Geo Diwara menilai putusan KPPU itu sebagai keputusan yang bijaksana. Terutama karena sanksi tidak dijatuhkan kepada perseroan, melainkan terhadap oknum pejabat Pertamina. Anggota Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral DPR Nizar Dahlan juga mendukung keputusan KPPU. Ia menilai keputusan tersebut sangat tepat. "Keputusan KPPU itu tidak bisa didiamkan. Pertamina harus bertanggung jawab baik secara institusi maupun individu," ujarnya.
Retno S/Erwin D/M Fasabeni-Tempo