TEMPO Interaktif,
Jakarta:Pengutang kakap Sjamsul Nursalim pekan lalu telah melunasi tunggakan sisa setoran tunainya sebesar Rp 86 miliar ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dengan pelunasan itu, bos Gajah Tunggal yang hingga kini masih menetap di Singapura ini, dinilai telah melunasi seluruh utangnya ke negara senilai Rp 28,4 triliun. Sebagai tindak lanjutnya, BPPN telah memulai proses rencana pemberian surat keterangan lunas buat Sjamsul. Jika dikabulkan, jalan buat bekas pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) ini untuk mendapatkan pengampunan dan pembebasan dari segala tuntutan hukum pemerintah (
release and discharge) pun kian lempang.Kepastian pelunasan utang Sjamsul ditegaskan oleh Deputi Kepala BPPN Bidang Asset Management Investment Taufik Mappaenre Ma'roef. Sjamsul sudah bayar kekurangan Rp 86 miliar, Jumat (6/2) lalu, katanya di Jakarta kemarin. Jadi, semua (utang)-nya sudah dilunasi.Salah seorang eksekutif puncak Gajah Tunggal, Catharina Widjaja, juga membenarkan hal ini. Sudah, sudah dilunasi minggu lalu, ujarnya kepada
Koran Tempo tadi malam.Atas dasar itu, kata Taufik, BPPN telah meminta Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan Tim Pengarah dan Bantuan Hukum (TPBH) BPPN untuk mengkaji pemenuhan kewajiban Sjamsul. Ketua (Kepala BPPN Syafruddin Temenggung) sudah mengajukan (permohonan) secara tertulis kepada mereka, ujarnya.Ia menjelaskan, KKSK dan TPBH akan meneliti ulang seluruh pemenuhan kewajiban Sjamsul, apakah sudah sesuai dengan perjanjian penyelesaian utang (
Master of Settlement and Acquisition Agreement/MSAA) yang ditekennya pada September 1998. Jika sesuai, BPPN akan memberikan surat keterangan lunas buat Sjamsul, yang merupakan tiket penting bagi setiap pengutang kakap untuk bisa mendapatkan pengampunan pemerintah. Persoalannya, berbagai kalangan menilai bahwa di luar penyelesaian utang senilai Rp 28,4 triliun itu, sesungguhnya masih ada sejumlah catatan penting yang harus diselesaikan Sjamsul dan BPPN terlebih dulu. Salah satunya menyangkut kontroversi tentang perbedaan mencolok antara nilai aset Sjamsul (Dipasena, GT Tire, dan GT Petrochem) saat diserahkan ke negara dengan nilai riilnya yang ditaksir hanya kurang dari seperempatnya. Selain itu, pernah ditemukan sejumlah kejanggalan adanya transfer dana triliunan rupiah dari BDNI ke perusahaan-perusahaan Sjamsul di luar negeri.Ketika ditanyakan hal ini, Taufik mengatakan, BPPN tetap berpegangan pada hasil uji tuntas keuangan yang dilakukan auditor independen Ernst and Young (E&Y) atas aset-aset yang telah diserahkan Sjamsul ke negara. Hasil uji tuntas menunjukkan justru ditemukan kelebihan dana sebesar US$ 1,3 juta. Pernyataan senada diungkapkan Catharina. Menurut dia, hasil uji tuntas tersebut menunjukkan bahwa Sjamsul telah memenuhi seluruh kewajibannya. Lalu bagaimana dengan persoalan nilai Dipasena yang merosot tajam? Ini urusan BPPN, tanyakan langsung kepada mereka, ungkapnya.Ia pun membantah soal temuan lembaga investigasi Business Fraud Solution yang menyebutkan adanya transfer dana senilai US$ 607 juta dari BDNI ke perusahaan Sjamsul di luar negeri. Saya kira tidak ada itu, ujarnya. Silakan ini juga ditanyakan langsung ke BPPN.Menanggapi ini, Ekonom Indef Iman Sugema menyatakan, BPPN seharusnya melakukan audit ulang terhadap aset yang diserahkan Sjamsul. Ini dikarenakan, belakangan ditemukan adanya kredit macet di Dipasena yang tidak pernah dilaporkan Sjamsul. Padahal, faktor ini membuat nilai riil Dipasena anjlok dari Rp 20 triliun menjadi tinggal Rp 5,2 triliun. Karena itu, kata Iman, Audit harus diulang. Apalagi, audit oleh Ernst & Young bukan valuasi ulang atas nilai aset yang diserahkan, tapi sebatas verifikasi terhadap metode dan data-data yang digunakan auditor sebelumnya. Atas dasar itu, Iman juga meminta, BPPN tidak memaksakan Sjamsul mendapatkan surat keterangan lunas. Masalah ini, kata dia, bisa ditangani oleh lembaga baru yang akan menggantikan BPPN. Kalau dipaksakan, bisa berarti ada apa-apa. Secara terpisah, salah seorang anggota TPBH Luhut Pangaribuan berpendapat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus turut bertanggung jawab jika benar terjadi kemerosotan nilai aset Sjamsul yang telah diserahkannya ke negara. Karena, BPK ikut menilai aset-aset itu, ujarnya. Atas dasar itu, ia pun berpendapat, BPPN tidak bisa disalahkan jika menggunakan audit BPK dalam menilai pemenuhan kewajiban Sjamsul. Meski begitu, ia mengaku belum bisa memastikan apakah Sjamsul sudah pantas mendapatkan surat keterangan lunas atau belum, sebab pihaknya masih akan meneliti lebih jauh. Yang bisa saya katakan, kata Luhut, jika BPPN menganggap Sjamsul sudah melunasi utangnya sesuai perjanjian maka sudah sepantasnya dapat SKL.
Sam Cahyadi/Metta Dharmasaputra - Tempo News Room