Aturan Pabean Rugikan Eksportir Mebel Rp 900 Miliar
Selasa, 3 Januari 2012 15:21 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pelaku industri mebel dan kerajinan menyesalkan pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.04/2011 tentang Registrasi Kepabeanan karena kurangnya sosialisasi. Akibatnya mereka tidak bisa mengekspor produknya karena tak memiliki nomor identitas kepabeanan (NIK).
Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Tjahjono mengatakan bulan ini diperkirakan eksportir mebel kehilangan pendapatan sebesar US$ 80 juta hingga US$ 100 juta atau sekitar Rp 720 miliar hingga Rp 900 miliar. "Kami sudah menerima keluhan mengenai masalah ini,” kata dia kepada Tempo, Selasa, 3 Januari 2012.
Menurut Ambar, dari 3 ribu anggota Asmindo, 600 di antaranya mengekspor produk ke sejumlah negara di Eropa, Amerika, Afrika, Timur Tengah, serta Asia. Para eksportir itu, kata dia, belum mempunyai NIK karena tak ada sosialisasi dari aparat Bea dan Cukai. "Ketika kami tanya, Bea Cukai meminta kami mengakses situs mereka, tapi tetap sulit,” ujar dia mengeluh.
Sebelumnya, Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Susiwiyono mengatakan, mulai 1 Januari 2012, eksportir, importir, dan pengguna jasa kepabeanan (PJK) harus memiliki NIK yang baru. Padahal sebelumnya kewajiban registrasi tersebut hanya berlaku bagi importir.
Saat ini para pengusaha masih berpegang pada izin yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan, yaitu sebagai eksportir terdaftar. Bila hambatan ini berlarut-larut, maka para pelaku usaha akan menderita kerugian yang lebih besar, di antaranya pemutusan kontrak dari para importir di luar negeri, mubazirnya letter of credit, serta ancaman denda ganti rugi dari pembeli. "Yang paling parah ialah hilangnya kepercayaan dari importir," kata Ambar.
Sepanjang 2010, nilai ekspor produk mebel dan kerajinan mencapai sekitar US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 17,1 triliun. Adapun tahun 2011 lalu diperkirakan meningkat 15–20 persen.
ARIF ARIANTO