TEMPO Interaktif, Jakarta:Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra menegaskan pemerintah bisa membatalkan surat release and discharge atau pembebasan dari semua tuntutan hukum para pengutang kakap. Jika di kemudian hari ditemukan novum atau bukti baru ada kewajiban mereka yang belum diselesaikan. “Putusan pengadilan yang sudah inkrah oleh Mahkamah Agung saja bisa diminta peninjauan kembali kalau ada novum. Dasarnya dalam hukum biasa,” kata dia seusai menjadi pembicara dalam diskusi ‘babak akhir perjanjian penyelesaian kewajiban pemegang saham’ di Gedung World Trade Centre Jakarta, Jumat (20/12). Ia mengatakan dalam penyelesaian kasus perjanjian master of settlement and aquitition agreement (MSAA) dan master of refinance notes issueance agreement (MRNIA), pemerintah tidak akan membuat kebijakan baru. Dalam hal ini kebijakan mengenai pemberian release and discharge. “Pemerintah tetap terikat dengan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat pemerintahan sebelumnya,” ujar dia. Menurut Yusril, pemberian release and discharge sebenarnya sudah dirintis pada masa pemerintahan BJ. Habibie. Kesepakatan antara pemerintah dan obligor dalam bentuk MSAA dan MRNIA untuk menyelesaikan masalah di luar pengadilan. “Pemerintah sekarang tidak bisa membatalkan itu secara sepihak, harus ada negoisasi antara dua pihak,” tegas dia. Ia menambahkan penegasan pemberian surat pengampunan itu kembali diamanatkan oleh TAP MPR No. 10/2002 dan UU Propenas No.25/2001. Di mana pemerintah harus konsisten melaksanakan perjanjian MSAA dan MRNIA, memberikan release and discharge bila obligor selesai memenuhi utangnya. “Jadi tidak ada kebijakan baru mengenai ini,” kata Yusril lagi. Presiden, lanjut Yusril, bisa saja mengeluarkan kebijakan baru. Tapi, bukan kebijakan mengenai pemberian surat pengampunan. Karena, lagi-lagi kata dia, release and discharge sudah ada dalam perjanjian yang diteken pada masa pemerintahan Habibie. “Keputusan presiden nanti hanya menegaskan sesuai dengan TAP MPR, UU Propenas dan kesepakatan sebelumnya,” tambah dia. Kalau presiden tidak bisa memenuhi amanat itu, kata dia, DPR bisa meminta pertanggungjawaban dari kepala negara. Meski, lanjut dia, Jaksa Agung bisa men-deponir suatu perkara dengan pertimbangan kepentingan umum. “Tapi bukan prosedur itu yang ditempuh pemerintah sekarang,” tegas Yusril. Yusril mengaku sejak awal pemerintah menyadari pemberian release and discharge tidak sejalan dengan asas-asas hukum Indonesia. Tapi sekali lagi ia menegaskan kalau pemerintahan sekarang membatalkan kespakatan MSAA dan MRNIA itu tidak mungkin. “Pemerintahan beda dengan LSM. Kalau LSM bubar bisa bikin baru, tapi pemerintahan tidak bisa,” tandas dia. (Kurniawan-Tempo News Room)
Berita terkait
Ketua DPD Golkar Sumut Musa Rajekshah soal Kemungkinan Maju Cawagub: Kan Udah Pernah
11 menit lalu
Ketua DPD Golkar Sumut Musa Rajekshah soal Kemungkinan Maju Cawagub: Kan Udah Pernah
Ketua DPD Partai Golkar Sumatera Utara Musa Rajekshah mengomentari saat ditanya kemungkinan maju calon wakil gubernur