Eko menuturkan, secara eksternal, persaingan BPR dengan lembaga keuangan bank dan non bank menjadi salah satu tantangan. "BPR disodok dari berbagai penjuru angin," katanya. Maksudnya, saat akan menyalurkan kredit mikro, maka BPR harus bersaing dengan bank pemerintah, swasta, dan asing. Sedangkan, dengan lembaga non bank, BPR harus bersaing dengan koperasi simpan pinjam. Seperti Penanaman Modal Madani (PNM Madani).
Padahal, kata Eko, BPR juga kalah bersaing dalam perolehan dana dari pihak ketiga dan kemampuan infrastruktur, serta Sumber Daya Manusia (SDM). Karena itu, ia menyarankan, BPR diharapkan bisa menjadi community bank. "BPR bisa memberikan pelayanan kepada masayarakat setempat, dengan proses cepat, aman, dan ada ketika dibutuhkan," katanya.
Kedua, bank sentral seharusnya melakukan pengaturan daerah operasai berdasar capital (permodalan). "BPR dengan modal Rp 1 miliar hanya boleh bermain di tingkat kabupaten," katanya mencontohkan.
Pilihan ketiga, pemilik BPR diminta untuk lebih terbuka pada para investor. Sebab permodalan BPR dikenal eksklusif atau terbatas saat ini. Keempat, BPR disarankan untuk melakukan merger. "Sebagian besar BPR masih di bawah Rp 50 miliar. Penyebarannya juga tidak merata, menumpuk di Jawa-Bali," katanya.
Karena itu, ia berharap Bank Indonesia memberikan insentif policy bagi BPR yang mau membuka cabang di luar Pulau Jawa-Bali.
FEBRIANA FIRDAUS