"Setelah dianalisa, penyebab kerusakan hutan yang pertama bukan karena izin. Ini persepsi keliru. Ternyata 66 persen hutan rusak karena perambahan karena ada akses terbuka, tidak ada yang jaga," kata Zulkifli dalam acara Rapat Koordinasi Perencanaan Anggaran Pembangunan Kehutanan Pusat di Jakarta, Selasa (22/6).
Perambahan liar itu paling banyak terjadi di hutan produksi dan hutan yang sudah dikonversi. Penyebabnya, hutan produksi atau hutan yang sudah dikonversi tersebut awalnya izinnya telah diberikan kepada sebuah perusahaan atau masyarakat namun dicabut karena berbagai alasan. "Jadi hutan produksi dibiarkan begitu saja karena tidak ada yang memiliki izin. Izin diambil sehingga terjadi akses terbuka. Di situ tidak ada yang menjaga," katanya.
Hutan yang dirambah itu pun, menurut Zulkifli, kemudian beralih fungsi antara lain ada yang menjadi perkebunan kelapa sawit dan lahan pertanian tanpa izin. Menurut Zulkifli, solusinya ada dua. Pertama memberikan izin sehingga ada yang menjaga kawasan tersebut. "Misalnya HPH. HPH itu ada yang menjaga, tinggal pengawasannya dari Kementerian," ujar dia. Solusi kedua, dengan memperkuat Kesatuan Pengelolaan Hutan. Artinya, hutan itu kemudian ada yang menjaga.
Total hutan primer menurut Zulkifli saat ini tinggal 43 juta hektare dari 130 juta hektare. Lockover area saat ini ada seluas 48 juta hektare. "Lockover ini juga separuhnya dirambah. Yang dirambah itu di hutan yang bisa di konversi, hutan produksi, hutan lindung, ada juga di kawasan konservasi, dengan total 66 persen. Tapi mayoritas perambahan ada di hutan yang bisa dikonversi dan hutan produksi," tuturnya.
Selain karena perambahan, Zulkifli menuturkan, kawasan hutan Indonesia yang rusak juga disebabkan banyak hal. Salah satunya karena alih fungsi hutan secara legal seperti untuk kebun, pertanian, jalan raya, akibat pemekaran wilayah, desa, dan kecamatan. Total untuk alih fungsi itu mencapai 16 persen. "Sedangkan untuk tambang tidak banyak. Hanya 0,6 persen," katanya.
MUTIA RESTY