Ia menilai tampilan pameran tidak beraturan, tanpa petunjuk arah yang tepat, dan tempat makan jauh dari lokasi pameran, serta sistem pendingin ruangan yang tidak berfungsi maksimal. Selain itu, peserta pameran juga mengeluhkan tingginya harga sewa yang mencapai US$ 160 per meter persegi. "Padahal, kalau kami yang menyelenggarakan tanpa subsidi pemerintah hanya US$ 120 per meter persegi," ucapnya.
Kondisi ini, menurut dia, sangat mengecewakan. Seharusnya, pemerintah mendorong dan memberikan subsidi kepada sektor industri yang kinerjanya sedang melemah karena krisis ekonomi global. "Kalau di Cina, Thailand, dan Singapura, pemerintahnya sangat pro industri dan memfasilitasi pameran dengan maksimal," ujar Ambar.
Ia mengatakan turunnya kualitas ini karena pemerintah, selaku penyelenggara pameran, tidak mau berkoordinasi dengan asosiasi. "Pemerintah sepertinya takut Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia mengalahkan Badan Pengembang Ekspor Negara," ujar Ambar.
Namun demikian, ia mengaku target penjualan furnitur sebesar US$ 200 juta atau sekitar Rp 2 triliun dalam pameran ini telah tercapai. "Tapi target baru akan tercapai bulan depan karena beberapa pembeli masih negosiasi," katanya. Pencapaian target itu terjadi karena asosiasi telah melakukan promosi ke seluruh dunia enam bulan sebelumnya.
Penjualan furnitur masih menjadi kontributor terbesar dalam total transaksi pameran Trade Expo Indonesia yang mencapai US$ 280 juta atau sekitar Rp 2,8 triliun. Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu mengatakan jumlah itu telah melampaui target pemerintah yang hanya US$ 230 juta atau setara Rp 2,3 triliun.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, kendati pun muncul kekhawatiran terhadap perkembangan ekonomi dunia yang belum membaik, namun jumlah pembeli tetap bisa dipertahankan bahkan melewati target. Selan itu, pengunjung pameran di luar pembeli mencapai 16.763 orang. Tahun ini jumlah peserta mencapai 770.
Nilai transaski pun meningkat, dari US$ 230 juta atau setara Rp 2,3 triliun tahun lalu menjadi US$ 280 juta atau sekitar Rp 2,8 triliun tahun ini. "Itu di atas target," kata Menteri Mari Elka. Yang menarik, adalah naiknya permintaan jasa tenaga kerja terlatih sebesar 14.341 orang dan menghasilkan transaksi US$ 62 juta atau sekitar 25 persen dari total transaksi.
Ia mengakui, produk furnitur tetap yang paling banyak diincar pembeli. Lantas disusul oleh produk-produk lain seperti komponen kendaraan bermotor, peralatan listrik dan elektronik, makanan dan minuman, dan alas kaki.
Adapun jumlah pembeli dari negara non-tradisional seperti India, Selandia Baru, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan, mencapai 64 transaksi atau US$ 143,5 juta (setara Rp 1,43 triliun). "Pembeli non tradisional akan terus kita kembangkan," tutur Mari.
Untuk itu pihaknya menerapkan proses seleksi yang lebih baik terhadap peserta. "Ini bagian dari program yang lebih luas supaya masyarakat lebih tahu banyak produksi Indonesia yang tanpa batas, dan tidak kalah mutu dan desainnya dari produk luar negeri," katanya.
SORTA TOBING | IQBAL MUHTAROM