Sritex Pailit, Jauh Hari Faisal Basri Pernah Ingatkan Bakal Terpuruknya Industri Tekstil
Reporter
Ni Kadek Trisna Cintya Dewi
Editor
S. Dian Andryanto
Kamis, 31 Oktober 2024 13:51 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang. Sebelumnya, Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri, sempat mengungkapkan beberapa faktor kejatuhan industri tekstil.
Informasi ini dibenarkan oleh Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang Haruno Patriadi di Semarang, Rabu, 23 Oktober 2024. Adapun, kondisi Sritex pailit itu terjadi setelah pengadilan mengabulkan permohonan salah satu kreditur perusahaan tekstil tersebut yang meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang sudah ada kesepakatan sebelumnya. Menurut Haruno keputusan inilah yang mengakibatkan perusahaan berkode saham SRIL itu pailit.
"Mengabulkan permohonan pemohon. Membatalkan rencana perdamaian PKPU pada bulan Januari 2022," ujar Haruno, seperti dikutip dari Antara. Dalam putusan pengadilan itu, ditunjuk juga kurator dan hakim pengawas yang akan mengatur rapat dengan para debut.
Direktur Utama PT Sritex, Iwan (Wawan) Kurniawan Lukminto, mengungkapkan alasan industri tekstil pailit atau sedang terpuruk, yaitu faktor internal (dampak pandemi dan daya beli masyarakat menurun) serta eksternal (peperangan, perlambatan ekonomi global, barang masuk dari Cina atau impor, dan regulasi pemerintah).
Sejalan dengan yang dikatakan Iwan, sebelum wafat, Faisal Basri, antara lain dikutip dari laman indotextiles.com, sempat mengungkapkan beberapa faktor penyebab utama yang membuat sektor ini terpuruk.
Kendala Pendanaan dan Teknologi
Pertama, Faisal Basri menyebut salah satu hambatan terbesar yang dihadapi oleh industri tekstil adalah pendanaan. Terutama untuk pengadaan teknologi baru yang semakin mahal. Selain itu, restrukturisasi mesin-mesin tekstil juga memerlukan biaya yang tinggi dan terkena pajak, membuat banyak pengusaha enggan melakukannya.
"Kita harus melakukan improvement teknologi, karena teknologi makin bagus. Tapi tidak ada dana. Ditambah lagi, pasar Indonesia kebanjiran produk impor murah dari Cina. Misalnya, saya bikin dasi seharga Rp 100 ribu, sementara dasi impor hanya Rp 50 ribu. Ini membuat industri dalam negeri mati," kata Faisal di Jakarta, Sabtu, 6 Juli 2024.
Produk Impor Murah
Kemudian, banyaknya produk-produk tekstil impor murah, terutama dari Cina, telah menjadi tantangan besar bagi produsen lokal. Sebab harga yang ditawarkan jauh lebih rendah, yang membuat produk lokal kalah bersaing di pasaran. Akibatnya, banyak perusahaan besar, terutama di Jawa Barat, enggan melakukan restrukturisasi mesin yang mahal dan harus membayar PPN serta bunga yang tinggi.
Investasi ke Sektor Lain
Selain itu, Faisal juga menyoroti bahwa banyak pengusaha mulai mengalihkan investasinya ke sektor lain, seperti hotel dan properti. Hanya sedikit pengusaha yang masih bertahan di industri tekstil, itupun dengan mengandalkan skema maklon, di mana mereka hanya memproduksi barang atas permintaan pemilik merek tertentu dan mengandalkan pasar ekspor. "99% produknya ekspor, maklon saja. Mereka memesan bahan baku dari luar negeri dan menghasilkan produk dengan merek terkenal," tambahnya.
Kebijakan Pemerintah
Menurut Faisal, pemerintah seharusnya memberikan bantuan kepada pengusaha lokal yang sedang kesulitan. "Anda bisa pesan dengan gadget Anda, satu tangan, satu biji, impor baju seragam seharga Rp 50.000 untuk tiga setel. Kita punya lembaga anti dumping tapi diam saja. Malah solusinya mengundang Cina untuk masuk ke sini, bukan membantu pengusaha lokal yang sedang kesulitan," pungkas Faisal.
Mundur lebih jauh, pada 2019, Faisal juga sempat menyinggung ihwal produk tekstil dari Cina yang membanjiri pasar Indonesia. Menurutnya Cina diduga melakukan underinvoicing dalam mengekspor produk tekstilnya.
Untuk diketahui, praktik underinvoicing merujuk pada praktik pengurangan harga suatu barang pada faktur dari harga yang sebenarnya dibayarkan. Underinvoicing dilakukan oleh pembeli atau penjual yang ingin membayar pajak lebih sedikit dari semestinya dengan merekayasa laba.
Praktik yang dikenal dengan pengurangan faktur ini menyebabkan persaingan dagang tekstil dan produk tekstil atau TPT tidak sehat. “Untuk kode HS 6111 (pakaian bayi dan aksesoris pakaian serta rajutan) misalnya, dari sisi Indonesia tercatat nilai impor dari Cina hanya 35,4 persen dari data produk serupa yang dicacat dari sisi Cina sebagai ekspor ke Indonesia,” ujar Faisal dalam diskusi online Indef, Selasa, 12 November 2019.
Pada 2018, industri TPT mengalami pertumbuhan hampir 10 persen. Kemudian melompat menjadi 20 persen pada 2019. Faisal menyebutkan, komponen yang mendongkrak pertumbuhan industri ini adalah tingginya perdagangan produk pakaian jadi. Industri pakaian jadi, kata dia, banyak menggunakan bahan baku impor dari Cina.
“Karena pemerintah membuka lebar-lebar keran impor dan berdirinya Pusat Logistik Berikat,” tuturnya.
Faisal Basri menyebut, pemerintah mesti segera mengambil sikap atas adanya indikasi praktik persaingan tidak sehat Cina sekaligus menekan impor bahan baku pakaian jadi. Pertama ialah memprioritaskan impor bahan dengan under value yang paling besar.
Kedua, ia meminta pemerintah mulai menertibkan praktik dagang di PLB. Ketiga, Faisal menilai intelijen dagang perlu mencermati proses impor barang tekstil dan produk tekstil, mulai pengapalan hingga barang masuk ke Bea Cukai. Keempat, ia menyarankan ada pembenahan sistem Bea Cukai.
NI KADEK TRISNA CINTYA DEWI | RADEN PUTRI ALPADILLAH GINANJAR RACHEL FARAHDIBA |SEPTIA RYANTHIE | ADIL AL HASAN
Pilihan Editor: Bagaimana Kondisi Pekerja Sritex Setelah Perusahaan Diputus Pailit?