Alokasikan Rp569 Triliun untuk Perubahan Iklim, Komitmen Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Masih Rendah
Reporter
Nandito Putra
Editor
Martha Warta Silaban
Selasa, 2 Juli 2024 10:06 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan dari 2016 hingga 2022 pemerintah telah mengalokasikan Rp569,3 triliun dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) untuk kebijakan perubahan iklim. Ia mengatakan Indonesia berkomitmen untuk mempercepat penggunaan energi bersih dengan porsi anggaran tersebut.
Dari total alokasi anggaran tersebut, Rp332,8 triliun digunakan untuk mitigasi, kemudian Rp214,2 triliun untuk adaptasi dan Rp22,3 triliun untuk co benefit. Kendati demikian, Suahasil mengakui saat ini masih ada sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia menuju transisi energi yang berkeadilan.
"Bukan berarti Indonesia niatnya jadi berkurang atau dukungannya untuk ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan. Kita akan terus berusaha untuk memenuhi. Kita muncul dengan logika transisi yang adil dan terjangkau," katanya saat memberikan sambutan dalam peluncuran hasil riset tentang perdagangan dan investasi berkelanjutan, Senin, 1 Juli 2024.
Ia melanjutkan percepatan menuju ekonomi hijau harus memerhatikan aspek keadilan. Dia menegaskan transisi berkeadilan adalah keniscayaan dan tidak dapat dihindari. Untuk itu, kata dia, butuh waktu agar target-target bisa transisi energi bisa tercapai. "Ini mungkin yang butuh waktu, tidak mungkin terjadi dalam waktu yang singkat dan kita sangat mendukung dalam hal ini," katanya.
Akan tetapi, menurut sejumlah pihak, komitmen pemerintah menuju transisi energi banyak bertolak belakang dengan kebijakan perubahan iklim. Bhima Yudhistira, peneliti dari Center of Economics Law Studies (CELIOS), mengatakan hingga 2030, orientasi investasi Indonesia masih akan bertumpu pada batu bara dan nikel.
Sehingga, Bhima, pemerintah terkesan tidak serius dalam mencapai target yang telah ditetapkan, yakni menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030. "Sekarang problem-nya adalah gencarnya pembukaan semlter nikel dengan sumber energi utama menggunakan PLTU batu bara," ujar Bhima kepada Tempo, Selasa, 2 Juli 2024.
Selanjutnya baca: Ganjalan terbesar dalam transisi energi adalah...<!--more-->
Peneliti Ekonomi Center for Strategic and Intrenational Studies (CSIS) Dandy Rafitrandi, menilai target nett zero emission kemungkinan akan gagal bila kebijakan transisi energi tidak segera diperbaiki. Dalam studi terbarunya, ia menemukan bahwa saat ini fasilitas untuk investasi dan pendanaan hijau di Indonesia tidak memadai.
Di lain sisi, ia mengatakan ganjalan terbesar dalam transisi energi adalah ketergantungan ekonomi negara terhadap sektor batu bara. Menurutnya menyetop batu bara memang tidak bisa dilakukan dengan cepat dan harus bertahap. Akan tetapi, hingga saat ini produksi batu bara nasional terus membengkak melampaui target.
"Kalau dengan effort yang sekarang, nett zero emission pada 2060 sepertinya akan gagal. Makanya pemerintah Prabowo nanti itu harus kita lihat lagi apa komitmennya tehradap transisi energi," ujar dia.
Sedangkan riset yang dilakukan Trend Asia pada 2022 menunjukkan, pertumbuhan energi terbarukan di Indonesai hanya 0,8 persen per tahun. Capaian energi terabarukan saat ini masih sekitar 11 persen dari target 23 persen pada 2025,
Di saat bersamaan, Trend Asia mencatat bahwa pemerintah terus memberi insentif untuk sektor batu bara dengan disahkannya Perppu No.2/2022 tentang UU Cipta Kerja.
Melalui UU Cipta Kerja, pengusaha batu bara mendapatkan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara. Selain meminta kepastian regulasi dan insentif fiskal-nonfiskal, pengusaha batubara selanjutnya juga meminta jaminan ketersediaan pasar untuk produk hilirisasi batubara kepada pemerintah.
Pilihan Editor: Cuaca Panas Arab Saudi: Jemaah Haji Meninggal hingga Pengaruh Perubahan Iklim