Kajian CELIOS soal Untung Rugi Kebijakan Tapera
Reporter
Ikhsan Reliubun
Editor
Aisha Shaidra
Selasa, 4 Juni 2024 14:01 WIB
Tapera untuk Mengatasi Masalah Backlog
Mengenai kondisi backlog perumahan Indonesia—selama periode 2010-2023—dalam kajian Celios—menunjukkan ada tren penurunan secara umum dalam backlog perumahan. Pada 2010, backlog tercatat sebesar 13,5 juta unit. "Meski ada fluktuasi kecil, tren keseluruhan menunjukkan penurunan yang berkelanjutan," tutur dia.
Puncak lainnya terjadi pada 2015—dengan backlog mencapai 13,5 juta unit. Namun, setelah itu angka ini terus menurun secara bertahap. Penurunan signikan terlihat pada 2021 ketika backlog menurun dari 12,72 juta unit pada 2020 menjadi 10,51 juta unit. Pada 2023, backlog perumahan berada di titik terendah selama periode yang ditinjau. "Sebesar 9,9 juta unit," kata dia.
Menurut dia, tren penurunan ini mengindikasikan adanya perbaikan dalam ketersediaan perumahan di Indonesia selama bertahun-tahun. Perbaikan ini bisa jadi hasil dari berbagai kebijakan dan program pemerintah yang bertujuan meningkatkan akses terhadap perumahan yang terjangkau.
Bhima menjelaskan, faktor ekonomi berperan penting dalam mempengaruhi permintaan dan ketersediaan perumahan. Perubahan kondisi ekonomi, seperti peningkatan pendapatan masyarakat, stabilitas harga properti, hingga suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) dan uang muka pembelian rumah, besar kemungkina turut berkontribusi terhadap penurunan backlog perumahan ini. "Meski terjadi penurunan, jumlahnya masih cukup besar," katanya.
Salah satunya, ujar Bhima, kenaikan harga rumah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan gaji rata-rata masyarakat. Secara rata-rata, dia berujar, kenaikan gaji masyarakat di 2023 adalah 1,8 persen. Mengutip laporan indeks harga properti residensial Bank Indonesia, terdapat kenaikan rata-rata harga rumah mencapai 1,96 persen.
"Bahkan untuk kategori tipe bangunan kecil naik hingga 2,11 persen dan menengah 2,44 persen. Artinya, masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah semakin kecil kesempatan bisa memiliki rumah," ucap Bhima.
Badan Pusat Statistik menyebutkan 11 persen masyarakat dengan pendapatan 20 persen terbawah mendapatkan rumah dari warisan ataupun hibah. Menurut Bhima, angka tersebut tertinggi dibandingkan dengan masyarakat berpendapatan menengah dan atas. "Masyarakat miskin memiliki ketergantungan akan hibah atau warisan rumah untuk memiliki hunian, itu pun masuk kategori rumah kurang atau tidak layak."
Selain itu, ada beberapa perubahan preferensi tempat tinggal oleh kaum muda seperti milenial dan generasi Z. Terutama, bagi mereka yang tinggal di perkotaan. Ada preferensi memiliki hunian dekat tempat kerja dibandingkan jauh dari tempat kerja. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor yang menurunkan angka permintaan rumah.
Selama kebijakan Tapera nantinya berjalan, menurut ekonom CELIOS, Nailul Huda, masalah backlog perumahan juga belum bisa teratasi. Bahkan jika ditarik lebih jauh ke model Taperum, masalah backlog perumahan ini masih belum terselesaikan. “Adapun alasan backlog sempat mengalami penurunan lebih disebabkan perubahan gaya anak muda yang memilih tidak tinggal di hunian permanen atau berpindah-pindah dari satu rumah sewa ke rumah lainnya,” Kata Huda.
Pilihan editor: Hasil Simulasi Ekonomi CELIOS pada Kebijakan Tapera: PDB Menurun, Pendapatan Pekerja Terdampak