Layanan Spa Kena Pajak Hiburan hingga 75 Persen, Pengusaha: 35 Persen Industri Masih Tutup karena Covid-19
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Grace gandhi
Jumat, 19 Januari 2024 07:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Wellness Healthcare Entrepreneur Association (WHEA) Agnes Lourda Hutagalung mengatakan bahwa aturan pajak 40-75 persen untuk layanan spa memberatkan industrinya. Karena hingga saat ini pun masih banyak tempat layanan spa yang tutup imbas pandemi Covid-19 yang terjadi beberapa tahun ke belakang.
Menurut Lourda, berdasarkan data ada sekitar 3.500 industri spa yang mayoritas ada di DKI Jakarta dan Bali. Dia menjelaskan bahwa WHEA selalu memonitor data dari waktu ke waktu mengenai industri spa di Indonesia.
“Itu 30-35 persen tutup karena Covid-19 dan tidak berhasil bangkit kembali sampai detik ini,” ujar dia dalam konferensi pers di kawasan Jakarta Selatan, pada Kamis, 18 Januari 2024.
Lourda merasa terpanggil dengan adanya aturan pajak 40-75 persen itu untuk membantu industri spa yang merasa keberatan. Aturan itu termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Dia menjelaskan asosiasi tidak pernah diajak bicara mengenai aturan tersebut. “Pemerintah tidak komunikasi dengan industri. Jadi, kalau ada satu unsur pemerintah yang bilang dia berkoordinasi dengan industri, bohong,” ujar dia.
Menurut Lourda, sebenarnya asosiasi sudah menghadap ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membahas masalah pajak itu. Namun, Lourda berujar, pihak DPR menyatakan bahwa para wakil rakyat itu sudah berbicara dengan kementerian terkait dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Selanjutnya: Kemudian, ketika pelaku industri spa dari WHEA mendatangi Kemenparekraf....
<!--more-->
Kemudian, ketika pelaku industri spa dari WHEA mendatangi Kemenparekraf, tak ada respons baik dari pihak kementerian. “Kami bicara kepada deputi yang menangani regulasi, jawabannya apa? Bukan urusan gue. Ada lagi deputi urusannya industri, urusan marketing, satu pun yang berhubungan dengan ini nggak merespons,” ucap Lourda.
Ketua Umum Indonesia Wellness Spa Professional Association (IWSPA) Yulia Himawati berharap pemerintah meninjau kembali untuk melakukan revisi aturan pajak tersebut. “Mudah-mudahan segera diproses, Badan Lengislasi DPR juga harus bekerja lagi meninjau kembali UU tersebut. Tapi memang itu akan membutuhkan waktu yang cukup lama,” ujar Yulia.
Menurut Yulia, pengusaha juga kecewa dengan dimasukkannya industri spa ke dalam jenis hiburan tertentu yang harus dikenai pajak 40-75 persen. Sebenarnya dalam Permenparekraf Nomor 11 Tahun 2019 sudah mendefisikan cukup jelas mengenai usaha spa.
Dalam pasal 1 peraturan itu, kata Yulia, disebutkan bahwa usaha spa adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan atau minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbanhkan jiwa dan raga dengan tetap perhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.
Bahkan IWSPA juga sudah melaksanakan audit terhadap usaha spa sesuai dengan Permenparekraf itu. Namun, anehnya dalam UU HKPD, spa dikategorikan ke dalam jenis hiburan. “Kalau yang lain mungkin hiburan ya silahkan saja. Tetapi yang tergolong di sini adalah spa wellness, spa untuk kesehatan,” ucap dia.
Sehingga sangat aneh jika akhirnya dikategorikan sebagai jenis hiburan. “Itu yang sangat kami sesalkan dan asoisasi kami tentu tidak menghendaki hal itu,” tutur Yulia.
Selanjutnya: Alasannya, karena, para terapis spa di industri adalah terapis yang....
<!--more-->
Alasannya, karena, para terapis spa di industri adalah terapis yang profesional dan bersertifikat. Bahkan harus mengikuti pelatihan yang tidak mudah untuk menjadi seorang spa profesional. Selain itu, ada juga uji kompetensi yang harus dijalani para terapis dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
“Jadi ini betul-betul adalah pekerjaan yang tidak sembarangan dikatakan hiburan semata. Itu yang menjadi konsen kami terhadap UU tersebut,” kata Yulia.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Lydia Kurniawati Christyana mengatakan, dalam Pasal 55 UU HKPD mengatur ada 12 jenis kegiatan yang masuk kategori jasa kesenian dan hiburan. Dari dua belas jenis kategori tersebut, hanya jasa hiburan tertentu seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa saja yang kena tarif batas bawah dan atas.
Sementara sebelas jenis lainnya, yaitu tontonan film; pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan; kontes binaraga; pameran; pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap; pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; permainan ketangkasan; olahraga permainan; rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang; dan panti pijat dan pijat refleksi, tidak kena tarif tinggi.
Secara umum, kata Lidya, ada penurunan tarif untuk sebelas jenis pajak hiburan di luar diskotek, dari 35 persen menjadi peling tinggi 10 persen. Tujuannya untuk menyeragamkan dengan tarif pungutan berbasis konsumsi lainnya seperti makanan dan atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, dan jasa parkir.
Pilihan Editor: Ekonom Ini Sebut Indonesia Bisa Sulit Dapat Pinjaman Baru dan Investasi jika Sri Mulyani Mundur