Krisis Pangan Semakin Nyata, SPI: Perlu Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan
Reporter
Defara Dhanya Paramitha
Editor
Grace gandhi
Senin, 16 Oktober 2023 07:43 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan penyebab utama ancaman krisis pangan berkaitan dengan orientasi tata kelola pangan yang masih mengacu pada ketahanan pangan, bukan kedaulatan pangan.
“Kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional,” ujar Henry dalam konferensi pers, Minggu, 14 Oktober 2023.
Dalam tataran implementasi, kata Henry, konsep kedaulatan tersebut meliputi segala aspek di dalam sistem pangan, mulai dari aspek atau subsistem penguasaan tanah (Reforma Agraria), model produksi (Agroekologi), pengolahan dan penyimpanan (cadangan pangan), distribusi (tata niaga), hingga konsumsi bagi kelembagaannya. “Konsep ini sekaligus menjadi alternatif dan pengganti dari sistem pangan yang berlangsung selama ini,” katanya.
Menurut Henry, krisis pangan juga disebabkan oleh perdagangan pangan yang tidak benar, sumber-sumber agraria yang dikuasai oleh korporasi besar, dan kesalahan dari sistem pertanian yang diterapkan. “Sebenarnya El Nino memang benar mengurangi produksi pertanian, tapi itu di tempat-tempat yang tidak dibangun irigasi,” kata Henry.
Adapun ancaman krisis pangan telah menjalar ke seluruh belahan dunia, yang ditandai dengan lonjakan harga pangan seperti beras, kedelai, dan jagung. Berdasarkan laporan Organisasi Pangan dan Pertanian atau Food and Agriculture (FAO) 2022, kenaikan harga pangan, pupuk, dan energi mendorong ancaman krisis pangan semakin nyata. “Kondisi ini turut disertai iklim yang membuat negara produsen pangan menahan diri melakukan ekspor,” ujar Henry.
Harga pangan yang melambung juga disebabkan kelangkaan dan kenaikan harga pupuk kimia. Pemakaian pupuk kimia dan pestisida yang meningkat telah mengakibatkan kerusakan ekosistem lainnya.
Selanjutnya: “Akibat dari sistem pangan yang seperti itu...."
<!--more-->
“Akibat dari sistem pangan yang seperti itu menimbulkan konflik agraria, kemiskinan, kelaparan, stunting atau tengkes, obesitas, perubahan iklim, dan kerusakan alam,” kata Ketua SPI itu.
Oleh karenanya, langkah pemerintah saat ini yang menempatkan reforma agraria dan kedaulatan dalam program prioritas nasional sebagai upaya mengentaskan kemiskinan dan mengantisipasi krisis pangan dinilai sudah tepat.
Namun, SPI mengklaim pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi belum merealisasikan hal tersebut. “Bahkan sebenarnya di tahun 2014–2019, pemerintahan Jokowi berjanji untuk melaksanakan reforma agraria dan kedaultan pangan. Hanya saja menurut kita, reforma agraria dan kedaulatan pangan tidak dilaksanakan,” kata Ketua SPI itu.
Jika reforma agraria dan kedaulatan pangan yang dijanjikan dan direncanakan pemerintah Jokowi tidak dilaksanakan, SPI mengatakan perampasan tanah bisa saja terus terjadi.
“Bisa dipastikan kalo di masa akhir pemerintah Jokowi ini tidak melaksanakan reforma agraria dan kedaulatan pangan, kekuasaannya sepanjang 10 tahun bisa dikatakan gagal dalam mengatasi kelaparan,” katanya.
Pilihan Editor: RUPSLB Setujui Wijaya Karya Lakukan Restrukturisasi, Apa Saja Langkah yang Diambil?