Cerita Lengkap Menteri Bahlil soal Konflik Pulau Rempang dan Singgung Campur Tangan Asing
Reporter
Andika Dwi
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 15 September 2023 08:06 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia angkat bicara perihal konflik panas yang sedang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Mantan Ketua Hipmi itu menilai konflik tersebut muncul akibat sosialisasi yang belum berjalan dengan baik.
“Dugaan saya, pertama, sosialisasinya belum berjalan baik. Itu harus diakui dan Bapak Presiden (Joko Widodo) memerintah saya turun langsung,” ujar Bahlil dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI di Jakarta, Rabu, 13 September 2023 dilansir dari laman YouTube Komisi VI DPR RI Channel.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memang menyampaikan mengutus Bahlil Lahadalia untuk pergi ke Pulau Rempang. “Mungkin besok atau lusa Menteri Bahlil akan ke sana untuk memberikan penjelasan mengenai itu,” kata Jokowi kepada wartawan di Pasar Kranggot, Cilegon, pada Selasa, 12 September 2023.
Penjelasan yang dimaksud Jokowi adalah soal kesepakatan bahwa warga akan diberi lahan 500 meter persegi plus bangunan tipe 45. Konflik yang terjadi di Rempang, menurut presiden, terjadi karena bentuk komunikasi yang kurang baik.
“Kalau warga, diajak bicara, diberikan solusi,” kata Jokowi dalam kesempatan yang sama.
Konflik Tidak Hanya Terjadi di Rempang
Dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, Bahlil menceritakan awal mula konflik di Pulau Rempang terjadi. Dia menilai konflik yang muncul seperti di Pulau Rempang tak hanya sekali terjadi di Indonesia.
Bahkan, kata Bahlil, konflik selalu muncul saat Indonesia memiliki proyek besar yang akan digarap. “Setiap kita mau bangun apa saja, ada aja (muncul masalah),” ujarnya.
Ia juga menyoroti orang asing yang menunjukkan sikap tak suka melihat Indonesia bergerak lebih maju. “Ada juga kemarin viral bule-bule di TikTok yang ngomong soal itu, itu merisaukan. Ngapain bule ngurusin negara kita, ada apa di situ?” ucap Bahlil.
Warga Tidak Memiliki Hak Atas Tanah
Lebih lanjut, Bahlil menjelaskan bahwa separuh dari warga di Pulau Rempang tidak memiliki hak atas tanah di kawasan tersebut. Bahkan menurut dia, Rempang sebenarnya sudah dikerjasamakan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (PB Batam) ke PT Makmur Elok Graha (MEG) sejak 2002 atau 2003 silam. Namun, dia mengaku tidak tahu-menahu tentang kerja sama tersebut.
Bahlil mengatakan kunjungan terakhirnya ke Rempang pada Agustus 2023 untuk menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Xinyi Group. Penandatanganan tersebut terjadi karena dia melihat ada potensi yang signifikan, lapangan kerja, hingga keberlangsungan kontraktor dan supplier yang bisa diklaim anak-anak bangsa.
Selanjutnya: Bahlil juga mengaku sempat bertemu dengan...
<!--more-->
Bahlil juga mengaku sempat bertemu dengan warga dan pejabat setempat untuk berbicara tentang proyek hilirisasi tersebut. “Pada awal Agustus belum kacau begini. Saya menemui warga dan bicara. Kurang lebih ada 3.000 kartu Keluarga (KK) dan 16 kampung tua. Saya datang bukan katanya, saya datang di kampung itu, duduk di kantor kecamatannya,” papar Bahlil.
Dari pertemuan tersebut, Bahlil mengetahui bahwa sebagian warga Rempang memiliki hak atas tanah tempat tinggalnya. Namun, sebagian warga lain yang merupakan pendatang tidak memiliki hak alas dalam bentuk apapun. Pasalnya, Nyat Kadir yang kala itu menjabat sebagai wali kota Batam periode 2001-2005 tidak lagi menerbitkan izin hak kepada warga baru setelah 2004.
“Pemerintah waktu kita merumuskan antara Pemda Batam yang notabene ex-officio kepala BP Batam, gubernur, dan sebagian Forkopimda, analisisnya karena sebagian yang tinggal di situ tidak punya alas hak, berarti tanah itu dikuasai negara lewat BP Batam,” ucap Bahlil.
Meski sebagian lahan di kawasan tersebut dikuasai negara, namun Bahlil mengatakan tidak ingin menggusur warga setempat begitu saja. Oleh karena itu, pemerintah pun memberikan solusi untuk masyarakat dengan kompensasi berupa tanah 500 meter persegi dan rumah tipe 45 yang sudah diberikan alas hak berbentuk sertifikat.
Selama masa pembangunan rumah itu, kata Bahlil, warga yang terdampak akan diberikan uang tunggu untuk mengontrak tempat tinggal. Tetapi, belum selesai perhitungan untuk besaran uang tunggu dilakukan, keadaan sudah memanas.
“Memang ada aspirasi lain jangan Rp 1,03 juta per orang (untuk uang tunggu), ada mintanya agak naik, saya kan belum menghitung baik dengan tim, tapi kondisinya sudah kayak begini,” kata Bahlil.
Hal senada disampaika Menteri Agraria dan Tata Ruang sekaligus Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto yang sebelumnya menegaskan bahwa lahan tinggal sebagai pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).
Lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare tersebut, kata Hadi, merupakan kawasan hutan dan dari jumlah itu, sebanyak 600 hektare merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Hadi menjelaskan, sebelum terjadi konflik di Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat. Hasilnya, hampir 50 persen dari warganya menerima usulan tersebut.
Pemerintah juga menawarkan mencarikan tempat tinggal baru atau relokasi yang disesuaikan dengan kehidupan masyarakat yakni sebagai nelayan. Selain itu, pemerintah menyiapkan Hak Guna Bangunan (HGB) pada lahan seluas 500 hektare yang lokasinya dekat dengan laut untuk memudahkan dalam mencari nafkah.
Selanjutnya: Pada kesempatan berbeda, Bahlil pun...
<!--more-->
Pada kesempatan berbeda, Bahlil pun memastikan bakal segera ke Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Situasi di Pulau Rempang memang tengah bergejolak seiring penolakan warga yang terancam digusur untuk pembangunan Rempang Eco City.
“Saya agendakan mungkin akhir minggu (pekan) ini,” ujar Bahlil ketika ditemui usai rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di Komplek Parlemen Senayan pada Rabu, 13 September 2023. “Saya tidak bisa sebutkan hari karena harus menyesuaikan jadwal kegiatan yang sudah ada.”
Bantahan Warga Pulau Rempang
Adapun warga Pulau Rempang membantah pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, yang menyebutkan lahan yang mereka tempati tak tergarap selama ini. Bahkan mereka berani membuktikan masyarakat sudah menempati pulau Rempang selama berpuluh-puluh tahun.
Seorang warga Rempang bernama Awangcik, misalnya, menyebutkan salah satu bukti bahwa masyarakat telah menempati pulau tersebut adalah data pemilu. Dia menyatakan, selama ini, masyarakat di sana selalu masuk dalam pendataan pemerintah untuk pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
"Kalau mereka bilang (Pulau Rempang) tidak ada penghuni, kok data pemilu ada, suara kami kan sampai ke Jakarta, kami ikut nyoblos kok," kata Awangcik kepada Tempo, Selasa, 13 September 2023.
Awangcik menegaskan dirinya sudah tinggal di Pulau Rempang sejak lahir. Pria berusia 63 tahun tersebut pun siap membuktikan jika orang tua hingga kakek dan neneknya juga sudah menempati pulau itu. Bahkan, menurut dia, mereka dimakamkan di pulau tersebut.
"Kalau mau cek, mari saya ajak ke makam orang tua saya," kata Awangcik.
Selain Awangcik, salah satu warga asli Pulau Rempang yakni Gerisman Ahmad mengatakan warga telah bermukim di pulau Rempang sejak 1834. “Kami sudah lama tinggal di sini, bahkan sebelum Indonesia berdiri,” tutur Gerisman, Jumat, 8 September 2023.
Awangcik juga menjelaskan sebenarnya masyarakat Pulau Rempang tidak menolak pembangunan proyek Rempang Eco-City. Hanya saja, mereka meminta agar pemerintah tidak melakukan penggusuran terhadap 16 kampung tua yang ada di sana.
"Kami tidak setuju digusur, silakan membangun, tetapi jangan digusur 16 kampung tua kami ini," ujarnya
RADEN PUTRI | RIRI RAHAYU | ANTARA | YOGI EKA SAHPUTRA
Pilihan Editor: Terpopuler: Sosok Bahlil Utusan Jokowi untuk Selesaikan Konflik di Rempang, Daftar Pengusaha dan Jenderal di TPN Ganjar