Pemerintah Pungut Pajak Belanja di Social Commerce, TikTok Siap Patuhi Aturan
Reporter
Amy Heppy
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 27 Juli 2023 01:59 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah berencana akan memungut pajak dalam transaksi yang dilakukan di social commerce.
Pemberlakuan pungutan pajak menyusul adanya revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), dimana di dalamnya akan diatur mengenai pengenaan pajak saat berbelanja di social commerce, seperti TikTok.
Head of Communication of TikTok Indonesia, Anggini Setiawan mengatakan pihaknya menyambut baik dan mendukung adanya revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 itu.
“Kami juga nantinya pada saat disahkan akan patuh terhadap semua aturannya,” ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koperasi dan UKM, Rabu, 26 Juli 2023.
Anggini menuturkan revisi peraturan tersebut akan memberikan kesempatan yang sama dengan semua platform untuk berinovasi dan melayani pasar.
Dia mengaku bahwa dalam operasional, TikTok Shop telah dikenakan pajak meski belum ada aturan yang mengatur hal tersebut.
"Sebenarnya sekarangpun sudah dikenakan pajak, meskip dalam aturan Kemendag belum ada kata-kata social commerce. Itu kewajiban perpajakan terkait dengan operasional kami" ujar Anggini.
Seharusnya produk impor dikenakan pajak lebih tinggi
<!--more-->
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda mengungkapkan bahwa hingga saat ini pungutan pajak belum diterapkan terhadap social commerce.
Menurutnya, pengenaan pajak terhadap transaksi di social commerce ini akan berdampak pada semua penjual.
“Makanya usul kita juga adalah mengusulkan memilah, memilih penjual yang dia juga produsen dengan penjual yang mengimpor,” ujar Huda.
Huda menilai bahwa seharusnya produk-produk impor dikenakan biaya atau pajak yang lebih tinggi. Dengan begitu, penjual dalam negeri yang menjual barang impor di Tanah Air dapat berkurang dan mereka akan beralih menjual produk-produk lokal di social commerce.
“Biaya yang berbeda dan lebih tinggi (untuk produk impor), maka kita bisa menciptakan equal playing field,” ungkapnya.
Sementara itu, Staf Khusus Kementerian Koperasi dan UKM, Fiki Satari mengungkapkan bahwa saat ini revisi Permendag Nomor 50 tahun 2020 masih menunggu proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
"Kita masih menunggu revisi Permendag 50/2020 ini segera diundangkan. Ada pernyataan Pak Mendag, tadi pagi rasanya ini sudah selesai dan mudah-mudahan kita menunggu harmonisais di Kemenkumham," kata Fiki.
Menurutnya, Terdapat sejumlah hal krusial yang telah disepakati dengan Kementerian Perdagangan dalam revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tersebut. Pertama adalah mengenai pembatasan produk cross border dengan batasan harga tertentu.
"Jadi harus 100 dolar AS saat itu, yang bisa masuk ke Indonesia," katanya.
Kemudian yang kedua adalah proses agregasi, dimana lokapasar dan retail online tidak boleh melakukan agregasi produk kecuali produk UKM yang dibuktikan dengan Nomor Induk Berusaha (NIB).
Pilihan editor: TikTok Tegaskan Tak Akan Luncurkan Project S di Indonesia