Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini
Sri Mulyani Sebut Stabilitas Sistem Keuangan RI Terjaga di Tengah Potensi Gagal Bayar Utang AS
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Grace gandhi
Senin, 8 Mei 2023 18:46 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) bersama Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa.
Salah satunya, Sri Mulyani mengatakan bahwa kondisi stabilitas sistem keuangam Indonesia pada kuartal pertama 2023 ters membaik.
"Stabilitas sistem keuangan triwulan I 2023 terus terjaga di tengah tantangan pasar keuangan global," ujar Sri Mulyani di LPS Learning Center, Gedung Pasific Century Place, Jakarta Barat, pada Senin, 8 Mei 2023. Salah satu tantangan tersebut adalah potensi Amerika Serikat atau AS gagal bayar utang.
Menurut Sri Mulyani, perkembangan positif dari stabilitas sistem keuangan ditopang oleh koordinasi kebijakan yang ditempuh. Serta optimisme dan pemulihan yang masih kuat dengan membaiknya berbagai indikator. "Kami berkomitmen terus memperkuat koordinasi dan menjaga kewaspadaan terhadap perkembangan risiko global," ucap Sri Mulyani
Fenomena potensi gagal bayar utang Amerika Serikat disebabkan karena sudah melebihi ambang batas US$ 31,4 triliun, yakni mencapai US$ 31,45 triliun. Peneliti Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan membeberkan kondisi fiskal Amerika di tengah fenomena itu.
Selanjutnya: Menurut Abdul, dari sisi pendapatan dan belanja....
<!--more-->
Menurut Abdul, dari sisi pendapatan dan belanja, defisitnya cukup tinggi mencapai US$ 1,37 triliun pada 2022. “Kalau misalnya dalam rupiah itu sudah luar biasa tingginya,” ujar dia dalam konferensi pers virtual bertajuk Ekonomi Indonesia di Tengah Pusaran Risiko Gagal Bayar Utang Amerika, Senin.
Peningkatan defisit itu, Abdul menjelaskan, terjadi sejak 2020 ketika pandemi Covid-19 melanda. Di mana defisitnya saat itu mencapai US$ 3,57 triliun. “Dalam grafik terlihat bahwa memang lonjakan belanja tidak bisa dihindarkan dan berjalannya waktu defisit semakin meningkat,” kata dia.
Sementara kondisi di tahun 2019, dia melanjutkan, defisit anggaran juga sempat meningkat karena terjadi perang dagang antara Amerika dan Cina. Hal tersebut akhirnya mempengaruhi bagaimana akumulasi pendapatan dari Amerika.
Menurut Abdul, dari sisi pertumbuhan pendapatan dan belanja, pertumbuhan rata-rata pendapatan di Amerika atau pendapatan fiskalnya hanya 2,9 persen per tahun sepanjang 2016-2022. Sedangkan dari sisi belanjanya naik mencapai 5,78 persen.
“Dari data ini terlihat memang kemampuan belaja negara untuk mengejar pertumbuhan pendapatan negara sangat jauh. Hampir pendapatan negara itu rata-rata di bawah belanja negara sekitar hampir satu kalinya,” ucap Abdul.
Pilihan Editor: KTT ASEAN ke-42, PLN Terapkan Skema Listrik Tanpa Kedip